Felix dan Karen mulai menyerah, mereka tidak tahu bagaimana lagi harus membujuk anak itu. Orang suruhan Molly hampir saja ingin melakukan cara yang lebih keras dengan mendobrak pintu kamar Soa. Namun Felix berusaha untuk menahan agar hal itu tidak terjadi. Ia tidak ingin Ken mengalami trauma akibat bentuk pemaksaan seperti itu. Terus saja Felix memeras otak, mencari berbagai alasan untuk dapat melunakkan hati Ken.
Di tengah kebingungan mereka, tiba-tiba telepon genggam Felix berbunyi. Edzard memanggil sekaligus membuatnya dan Karen bertambah penat karena telah diberi tahu bahwa Soa dalam perjalanan pulang untuk mencegah pengambilan Ken.
“Harusnya kalian bisa menahannya!!!” Pria itu berang, menyalahkan Edzard sekaligus Gensi kenapa Soa bisa sampai tahu adiknya akan dibawa, sementara ia dan istrinya sejak tadi masih kesusahan merayu bocah itu. Pikiran Felix semakin kacau, bertambah lagi satu masalah.
Suara Edzard terdengar dari kejauhan. “Menurutku, ini kesempatan yang baik Ayah. Biarkan saja Soa menemui Ken. Jika Ayah melakukan sendiri untuk membujuk Ken, itu hanya akan membuang waktu dan tenaga Ayah. Lebih baik Ayah berikan pengertian kepada Soa, dia bisa Ayah gunakan untuk meyakinkan Ken. Saat ini hanya Soa yang bisa Ken percaya.”
Felix seolah mendapat angin segar mendengar ide dari menantunya. Kepenatannya mendadak lepas begitu saja. Apa yang Edzard katakan berpeluang menjadi keberuntungan yang ia harapkan. Kelicikan bermain di kepala, ambisinya kini tanpa iba memperalat sang putri kedua. Pria itu tanpa sadar terjerumus semakin dalam, mengotori kemurniannya sebagai seorang ayah penyayang.
Tiga puluh menit telah berlalu, Soa tergopoh-gopoh memasuki rumahnya dan ingin langsung menemui Ken. Felix dan Karen yang sudah menunggunya di ruang tengah, segera menahan Soa naik ke kamar agar mereka bisa bicara mengikuti petunjuk Edzard.
“Kenapa ayah menyembunyikan ini dariku?!” Soa tidak mampu lagi merendahkan suara di depan orang tuanya. Matanya terlihat merah menahan amarah, nafasnya pun masih terengah-engah.
Felix mencoba menenangkan anak gadisnya, meminta Soa untuk duduk terlebih dahulu berdiskusi bersama ia dan Karen, namun Soa menolak ajakan itu dengan tegas, Felix pun mengalah. “Ayah hanya tidak ingin kau sedih karena berpisah dengan Ken,” disuapinya anak kedua dengan kebohongan.
Tetapi Soa menolak omong kosong itu. “Ayah bohong! Itu karena aku adalah penghalang bagi kalian, bukan?! Pasti Gensi sudah mengatakan kepada Ayah bahwa aku menolak pengasuhan Ken! Dan sekarang aku baru diberi tahu bahwa bibi berniat mengadopsi! Aku akan semakin menolaknya, Ayah!”
Karen langsung menghampiri Soa dan mengelus-elus punggung anaknya itu dengan sabar. “Soa tenanglah, jaga sikapmu terhadap ayahmu. Kita tidak akan bisa berbicara dengan situasi seperti ini.”
“Bagaimana aku bisa tenang, Ibu! Ken akan pergi dengan orang lain dan aku mungkin tidak akan bisa lagi melihatnya. Apa Ibu tidak merasakan hal yang sama sepertiku?!”
Pertanyaan Soa sekejap menjadi dentuman yang menggetarkan batin Karen. Matanya langsung menyiratkan sesuatu. Soa tidak mengerti itu menunjukkan perasaan apa. Ibunya terlihat tertunduk seperti orang merasa bersalah, namun tanpa ada air mata yang menggambarkan rasa kehilangan. Padahal Soa tahu, ibunya bukan orang sekaku itu.
“Aku mohon Ayah, jangan lakukan ini,” lanjut Soa meminta dengan wajah memelas. “Restoran mengalami peningkatan luar biasa, bicaralah lagi pada bibi Molly untuk meminta waktu pembayaran, aku yakin kita bisa melunasinya. Ken sangat ingin bersama kita, dia masih bisa bersekolah di sini.”
Felix begitu cerdik bermain raut muka, keningnya mengerut tertunduk kalah. “Kita tidak akan bisa mengubah apa pun, Soa. Molly sudah memberi keputusan tegas, bahwa ia tidak memberikan kesempatan lagi pada kita. Kita harus membiarkan pengadopsian Ken terjadi.”