Soa memeluk Ken begitu kuat, ia tidak ingin air matanya tumpah lagi dan memperberat langkah Ken. “Ingat! Kau harus menjaga dirimu baik-baik. Jangan melakukan apa pun yang bisa membuat tubuhmu terluka. Kau membutuhkan kesehatanmu untuk menemukan jawaban,” begitu nasihat Soa menggaung.
Ken yang penurut, kali ini memasang telinga lebih baik, lalu mengangguk berjanji pada kakaknya. “Aku tidak akan membuatmu cemas, Kak.”
Seulas senyum pun melingkar di bibir Soa. Begitulah, sikap yang lagi-lagi dapat diterjemahkan bahwa Soa sangat berpengaruh besar bagi Ken.
Mesin mobil telah menyala. Dilihatnya Ken naik tanpa menaruh curiga. Kacanya yang terbuka membuat Soa melihat dengan jelas muka lugu bocah itu. Wajah yang tak paham atas apa yang telah dilakukan oleh orang dewasa terhadapnya. Ken duduk di belakang seorang diri sementara seorang ajudan di depan mendampingi sopir.
“Soa ..., aku yakin akan menemukan jawabannya lebih cepat darimu!” teriak Ken seraya mengeluarkan kepalanya. Soa hanya bisa tersenyum dan mengangguk, matanya sudah mulai berkaca-kaca.
Perlahan mobil itu mulai bergerak, Ken melambaikan tangannya dengan senyuman. Kepalsuan telah Ken dapatkan, kakaknya balas melambaikan tangan dengan senyuman menawan. Semakin jauh mobil melaju, menikung hingga Ken tak terlihat lagi dalam penangkapan mata Soa. Pecah seketika tangis gadis itu. Ia sesenggukan berlinang air mata, menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Soa ingin mencaci maki dirinya sendiri. Ia yakin, jika Ken tahu kebenarannya, pastilah ia adalah orang pertama yang adiknya benci. Soa ingin marah, tetapi ia tidak tahu kepada siapa. Keadaan tak mungkin dapat disalahkan, yang hanya ia tahu, dirinya tak berdaya upaya.
“Aku mengerti, Soa.” Suara itu tiba-tiba hadir, dan sang pemilik datang memberikan kasihnya.
Soa terkejut mendengar kalimat itu. Ia mencari dari mana sumbernya. Hingga ia mendapati,
“Andel,” ucapnya lirih.
Gadis itu langsung berlari, dan memeluk erat malaikat yang telah berada beberapa langkah di belakangnya. “Aku kakak yang jahat! Aku telah menipunya!” hardik Soa pada dirinya sendiri.
Tak ada satu pun kata yang keluar dari bibir Andel. Ia memilih memberikan ruang untuk Soa menangis dalam pelukannya. Tak ada keinginannya untuk mengusap air mata itu. Empatinya murni menjadi energi yang menenangkan tanpa suara. Baginya air mata bukan sebagai bentuk kelemahan, tapi obat pengurang rasa sakit yang Tuhan sediakan. Andel hanya ingin bersikap sebagai perantara Yang Kuasa, untuk menjadi sandaran sejenak bagi manusia di hadapannya yang tertimpa dukacita.
***
Langit gelap kali itu menyapa dengan kerlip bintang-bintang yang berarak bagai kancing tak terjahit. Soa masih berdiri sendiri menikmati pemandangan malam di tepi balkon kamarnya. Ini malam pertama celoteh Ken tidak lagi bisa ia dengar. Soa sudah terlalu lelah untuk menangisinya. Batinnya pun menambah keletihan karena terus saja menggaung perasaan bersalah.