Soa mengangkat alisnya, mendengar jawaban Plato membuatnya jadi berpikir lebih jauh.
Memekur tanpa kata, sejenak kemudian gadis itu mendesah. “Ya, itu pertanyaan yang menarik. Kalau Dia ada di depan mata kita, tentu semua tidak perlu menjadi misteri. Kita bisa mencegah keburukan datang, dan tak ada istilah salah pilih jalan. Aku tak mengira kau masih sibuk mencarinya.”
Plato mengangguk. “Aku, a–akan mencarinya te–terus.”
“Sampai kapan kau akan mencarinya?” tanya Soa penasaran.
“Sa–sampai aku gila.”
“Eh!” Soa langsung terkejut melongo.
Tanpa kata lagi Plato berlalu meninggalkan Soa seorang diri yang masih terbengong-bengong karena jawabannya.
Plato melangkah semakin menjauh, seraya sibuk dengan mulutnya yang mengunyah roti tersisa. Pria itu berjingkrak-jingkrak lagi sambil tertawa sendiri. Sebuah komentar pun terlontar dari bibir Soa kala melihat polahnya.
“Ya ampun. Hidupnya sangat sederhana dan gembira. Apa aku juga harus sibuk mencari Tuhan saja sampai bisa melihatnya?” gumam Soa.
“Apa katamu!” Soa terlonjak kaget mendengar suara keras yang dekat sekali dengan telinganya. Ia lihat Andel sudah berdiri di sampingnya dengan wajah serius.
“Ia tidak gembira, ia menyiksa dirinya sendiri sampai menggila!” cetus Andel.
Soa mengernyit, sorot mata Andel tajam ikut memandang Plato dari kejauhan.
“Rasa ke-akuan dari dalam diri pria itu membuatnya memaksa ingin melihat wujud Tuhan hanya dengan kedua matanya. Ia lupa perangkatnya terbatas, penuh obsesi ia mencari dan meminta tanpa kasih murni. Padahal keterbatasan itu bisa ia gunakan untuk melihat tanda bahwa Yang Sejati ada dan telah mengajarkan dengan begitu banyak makna kepadanya.
“Yang ia tuhankan bukan lagi Sang Absolut itu sendiri, tetapi keberhasilan penglihatan yang kelak bisa ia banggakan karena ia merasa bisa membuktikannya.”
Soa berpikir dalam-dalam, berusaha keras memahami kalimat Andel. Tiba-tiba hatinya tergelitik untuk bertanya, “Tak bisakah Tuhan membuka pintu sedikit saja untuknya?”
Andel mengulum senyum. “Bahkan pintu telah terbuka sejak lama. Dia memberi tanda untuk mempersilahkan ciptaan yang disayangi-Nya masuk. Sayang mereka belum bisa bertegur sapa, karena ciptaan-Nya diam-diam memang tidak mencari-Nya, tetapi hanya mencari hadiah dari-Nya.”
Soa diam tak berkutik. Dari dahinya muncul kerut keseriusan untuk lagi-lagi berusaha mengerti segala yang ia dengar, sungguh ini sulit sekali baginya.
“Belajarlah dari Plato, Soa,” lanjut Andel.
Gadis itu terbelalak mendengar perkataan Andel. “Untuk apa? Dari ucapanmu kutangkap ia keliru,” tanyanya bingung.