Ken yang lebih muda 15 tahun darinya menjadi boneka hidup, lalu terus tumbuh sebagai seorang adik sekaligus sahabat kecil. Soa menjadi nyaman ketika pulang ke rumah. Canda, tawa dan tangis dari bibir mungil Ken membuat ia menerima banyak kejutan. Kadang Soa dibuat oleh Ken gembira, kadang juga dibuat bersusah payah memutar otak karena pertanyaan kritisnya.
Soa ingin melihat Ken terus bertumbuh. Menjadi remaja dan jatuh cinta. Melihat ia menjadi orang dewasa yang lebih bijak dibanding kedua kakak atau bahkan orang tuannya. Soa ingin Ken menjadi paman menggemaskan jika suatu saat ia menikah dan memiliki seorang anak. Akan tetapi begitulah keinginan, yang terjadi lebih banyak di luar harapan.
Barisan kenangan bersama Ken selalu saja mengguratkan senyum yang tak kenal usang. Namun saat Soa menyadari bahwa kenyataan tak sejalan dengan harapan membuat senyum itu seketika lenyap. Benaknya pun bereaksi, mewanti-wanti agar cukuplah sudah berlarut-larut sampai di sini.
“Perpisahan ini memang berat diterima, Soa! Tapi Ken akan memiliki kehidupan yang beruntung dan semua yang dimiliki akan menjadi penunjang untuk ia bisa meraih impiannya!
“Kenangan tetaplah kenangan! Dipikirkan sedetail apa pun tidak akan terulang menjadi masa kini apa lagi masa depan!” begitulah, suara keras di dalam diri Soa menggeliat.
Gadis itu pun menunduk lemah seperti bocah yang habis berbuat salah. Ia mengakui, bahwa suara berisik itu memang tak keliru. Tetapi... bagaimana lagi? suara itu nyatanya masih belum berhasil menjadi pelatih yang membangkitkan motivasi muridnya agar jangan menyerah pada kegagalan.
“Biarkan aku masih merasa sedih, Ken.” Pengungkapan itu pun akhirnya terlontar meski terdengar pelan.
"Ken?!” Soa tersentak, kaget bukan main.
Ia bertanya-tanya sejak kapan Arandra sudah hadir dan duduk di sampingnya. Padahal sebelumnya ia tahu tak ada seorang pun di dekatnya, minimarket sejak tadi juga sedang sepi pengunjung.
"Siapa itu Ken?” lanjut Arandra, tanpa menyadari bahwa ia sudah membuat jantung Soa berdebar.
“Kau mengagetkanku!” ujar Soa kesal.
“Kau yang terlalu asyik bengong dengan muka muram begitu. Aku sudah sejak tadi di sini dan sudah menyapamu, tapi kau tidak perhatikan,” Arandra menyangkal tanpa merasa bersalah.
“Begitukah?” gadis itu melirik curiga. “Apa sepatu kaki dewa tidak bersuara jika berjalan?”
Arandra ikut memasang muka jengkel karena tak sabar ingin mendengar jawaban Soa.
"Aku tidak berbohong, Soa...” lanjut Arandra masih membela diri. “Sudahlah, tak perlu kita bahas lagi soal ini. Sekarang katakan padaku, siapa itu Ken? Apa kau sedang menyukai pria lain? Apa dia lebih baik dariku? Ya ampun! Untuk apa kau menyukainya kalau dia membuatmu sedih?!” Arandra terus saja mencerocos. Sikap gusarnya membuat Soa bercengangan.
“Dia adikku,” jawab Soa singkat. Sekaligus merasa aneh dengan pertanyaan pria itu yang memberondong.
Dalam sekejap balasan Soa bagaikan kekuatan magis yang menyejukkan hati Arandra.