Di restoran, Edzard menarik perhatian Gensi karena wajahnya yang terpasang tampak suram setelah kembali dari minimarket. Pekerjaannya pun jadi lebih lambat, malah satu kali Edzard salah mengantarkan pesanan.
“Kenapa kau tidak meminta Soa segera kembali?! Kalau didiamkan dia bisa duduk di sana sampai malam!” omel Gensi ketika ia dan suaminya berada bersama di dapur. Kebetulan, tidak ada pesanan lagi yang harus mereka buatkan.
Edzard menggeleng. “Aku tidak ingin mengganggunya, dia terlihat sibuk bicara.”
Jawaban itu justru menambah penasaran Gensi. Edzard sungguh bersikap tak seperti sebelumnya. Sang istri lalu berjalan mendekat, lantas mengamati lagi air muka suaminya yang kelihatan berat.
“Sejak kapan kau jadi simpati padanya?” selidik Gensi kemudian. Namun Edzard tak menggubris, ia memilih sibuk mengelap meja di depannya. Tentu saja, hal itu membuat Gensi malah curiga. “Sejak tadi kulihat kau tampak risau, apa ada sesuatu?”
Seketika Edzard langsung terhenti. Sadar bahwa dirinya sudah tak bisa lagi menghindar, ia pun berniat mengatakan kegundahannya kepada sang istri.
“Kau sakit?” Gensi masih belum lelah bertanya.
Pria itu menggeleng. “Aku tidak sakit. Tetapi... aku rasa adikmu yang sakit.”
“Hah?! Tadi kulihat dia sehat-sehat saja.”
Edzard segera melepas kain lap ditangannya. Lalu buru-buru menghadapkan Gensi ke arahnya, lurus, serius, dan kedua tangannya hinggap mencengkeram bahu sang istri dengan kuat.
“Berjanjilah, kau sungguh tidak akan marah jika aku mengatakan hal yang terdengar buruk tentang adikmu?”
Wanita itu mengangkat alisnya. “Untuk apa kau bertanya? Bukankah kau sudah sering melakukannya? Apa aku pernah menghajarmu karena itu?” Edzard langsung merasa tersindir. Ia lantas menurunkan kedua tangannya dari bahu sang istri, tertunduk malu dengan apa yang ia ingat pernah ia buat. “Sudahlah, sekarang katakan apa maksudmu? Aku tidak akan menghajarmu kalau itu memang kenyataan,” tandas Gensi.
Merasa di dukung seketika pria itu mengangkat kepalanya. Senyumnya sempat melebar, lalu secepat kilat kembali memasang raut muka tak bergurau. “Soa–aku rasa dia...,” kalimat Edzard tersendat-sendat. “Hmm, aku rasa adikmu itu... hmm, adikmu... sudah mulai gila.”
Langsung saja istrinya terbahak-bahak mendengar hal itu.