Arandra membeku dalam kebisuannya. menggelitik rasa keingintahuan yang mendalam di dalam batin Soa. Ketegangan di wajahnya terpancar, lantas tertunduk terlihat sendu.
“Kau baik-baik saja, karna aku telah mengatakannya?” ucap Soa.
“Ya, aku tak apa-apa. Memang begitulah kenyataannya.”
Soa jadi ikut-ikutan terdiam. Hanyut menikmati kesunyian menunggu saat di mana Arandra ingin melanjutkan ucapan.
“Sekarang kau sudah tahu kebenarannya, Soa. Aku tahu ini membuatmu tidak nyaman. Aku hanyalah hantu yang mengganggu hidupmu, bukan?”
“Ya. Kau membuatku ketakutan. Bahkan bisa-bisanya kau mengaku sebagai dewa,” ketus Soa.
“Maafkan aku, aku menyesal. Aku pikir manusia lebih mudah menerima kehadiran dewa dari pada hantu.”
Lagi-lagi Soa terdiam. Terlihat menahan diri, enggan mengatakan apa-apa.
Sadar dengan kebisuan gadis itu, Arandra pun berujar. “Katakanlah Soa. Jika memang kau tidak ingin memaafkanku.
“Marahlah, jika kau memang ingin melakukannya. Aku akan menampung itu semua. Asalkan kau tidak menyembunyikan perasaanmu, bersembunyi dalam diam dan membuatku hanya menebak-nebak. Itu lebih menyakitkan bagiku.”
“Kenapa?”
“Karena itu berarti–kau sudah tidak mau menerima kehadiranku.”
Soa semakin tenggelam, menerima semua pengakuan Arandra. Baginya makhluk di depannya tidaklah buruk. Ia hanya ingin menghampiri masa lalu lelaki itu, dan dia juga sudah berhasil mendapatkannya. Tidak adil rasanya, jika pertemuannya dengan Arandra terputus sampai di sini. Namun perasaan itu tak cukup menjadi alasan untuk hubungan mereka. Gadis itu masih saja ingin berkata,
“Aku memaafkanmu, Arandra.” Ucapannya tiba-tiba menjadi deretan lilin yang menyala menerangi gulita di hati Arandra. “Hanya saja... aku ingin hidupku tenang. Dan dunia kita jelas sudah berbeda.” Sayangnya, dalam sekejap lilin-lilin lemah yang baru menyala itu harus kembali redup, diterpa oleh kencangnya angin tanpa sisa.
“A–apa maksudmu? Apa kau akan menjauhiku?” Arandra langsung terdengar panik.
Soa membuang muka dari Arandra, ia terlihat enggan menatap mata biru lelaki itu. “Apa aku salah, jika aku menginginkannya?”
“Kenapa Soa?! Aku sudah mengakui semuanya!”
“Terima kasih untuk kejujuranmu.”
“Lalu? Apa lagi?! Apa karena aku hantu? Sosok yang selalu dijauhi manusia? Aku tidak akan menyakitimu!”
“Bukankah barusan kudengar kau sudah mengakui, bahwa kau menggangguku.”
“Ya, Soa. Aku salah! Tapi setidaknya beri aku kesempatan, untuk mengulang pertemanan ini dari awal!”
“Sudah aku bilang, kan! Aku ingin ketenangan.”
“Aku berjanji pertemanan kita tidak akan mempersulitmu.”
“Aku percaya, Arandra. Tetapi hubungan ini tetap tidak normal.”
Arandra tak mampu berkata apa-apa lagi. Kerasnya sikap Soa tak mampu ia ubah. Rasa ketakutan dan kecewa berpadu di wajahnya. Ia terlihat kacau, tapi jalan buntu sudah ia temukan di depan mata.
“Maafkan aku Arandra.”