“Ho ... Andel. Apa kau yakin dengan caramu bisa membuat dua keturunan adam yang pernah saling membenci itu akan kembali berkasih sayang?”
Andel terdiam sebelum jawaban yang dicari rekan sesama malaikatnya itu terlontar dari bibirnya. Ia terduduk anggun di salah satu kursi taman. Satu kakinya terangkat menyilang, sementara matanya asyik mengamati Soa dan Arandra dari kejauhan.
Penampilannya kali itu berbeda. Gaun putih yang indah, beserta dua sayap yang semula tak terlihat kini semua tampak jelas melekat di tubuhnya.
Hari itu, ditemani oleh rekan kerja berwujud malaikat pria. Mereka yang sedang mengambil wujud aslinya tak tertangkap oleh mata manusia dan juga roh-roh halus yang berkeliaran di tengah mereka. Andel dan teman malaikatnya, sengaja memasang pendengaran jauh dengan menggunakan kekuatan magis, untuk mengetahui apa saja yang Soa dan Arandra bicarakan.
“Apa kau lupa Miron?” Mulanya penuh percaya diri. “Bukankah kita harus selalu yakin, pada apa yang Tuhan inspirasikan pada kita?”
“Hahaha. Ya... kau benar,” jawab rekannya yang dipanggil Miron itu seraya tertawa. “Sungguh pekerjaan yang tidak mudah untukmu, kawan. Kebencian di antara mereka terlalu pekat. Terutama gadis itu.”
Terselip senyum kecil di sudut bibir Andel yang mendengarnya. Malaikat itu lalu bangkit dari duduk. Lantas mendekati Miron yang sedang berdiri beberapa langkah di sisi kanannya.
Andel menyilangkan tangan. Matanya kembali berpusat pada dua makhluk berbeda dunia itu. “Tugas kita hanyalah menyadarkannya saja bukan? Dan pilihan tindakan selanjutnya. Merekalah yang akan menentukan.”
“Ya. Aku ingat hal itu. Memberi mereka pemahaman, berusaha mendorong mereka mau menggunakan akalnya untuk memilih tindakan yang benar, sehingga mengecilkan peluang bagi mereka memilih pilihan yang salah. Begitu kan yang ingin kau katakan padaku?”
Andel tertawa puas. “Syukurlah ... aku tidak perlu memperpanjang ucapanku lagi.”
Miron balas tersenyum lebar merasa bangga, refleks ikut-ikutan menyilangkan tangan. Namun kebanggaan itu tiba-tiba berubah, ia jadi tergelitik untuk bertanya satu hal yang akan terjadi di kemudian hari.
“Kau sudah mempertemukan Soa dengan pria itu sebelum ia tahu tentang jati dirinya. Lantas bagaimana, jika dengan caramu mempertemukan mereka lebih cepat, pada akhirnya membuat mereka saling jatuh cinta?”
Andel terkesiap. Ada kekhawatiran yang tiba-tiba muncul terlukis di wajahnya. Ia terlihat seperti tidak siaga dengan pertanyaan itu.
“Cinta mereka bisa saja membuat mereka menolak misi ini, Andel. Atau...” tatapan Miron penuh selidik ke arah rekannya. “Hem, kau tidak sedang berpikir bahwa cinta mereka akan menjadi kekuatan, selagi mereka kompak menjadi sepasang pahlawan, bukan?”
Andel masih terpaku dengan mulut terkunci.
Merasa sepi, karena tidak mendapat balasan sama sekali. Miron melirik ke arah Andel dengan tatapan keheranan.
“Ada apa? Kenapa kau diam saja?” ujarnya. Terdengar jelas merasa Aneh dengan kebisuan rekannya.