Siapa yang tidak ingin menghapus kenangan semudah menekan tombol ‘Delete’ di papan ketik komputer? Bebas kapan saja bisa memilih sendiri kenangan mana yang masih ingin disimpan, dan menghapus kenangan buruk yang tidak diinginkan.
Jika tombol itu ada, tentu akan semakin banyak manusia yang berbahagia di muka bumi ini, bukan?
Tetapi ... tombol penghapus kenangan itu nyatanya tidak tersedia.
Manusia yang mencintai dan tak sampai pada kekasihnya. Harus berusaha keras melewati dua kesulitan setelahnya. Yang pertama, berjuang menerima kenyataan bahwa takdir tidak memperkenankan sepasang pemilik hati bersama. Dan yang kedua, adalah berjuang untuk tidak menganggap kegagalan hubungan itu sebagai sebuah penyesalan.
Yeah, begitulah kira-kira.
“Jadi benar, kau mencintaiku disaat aku menjalani pernikahan bersama Sancho?!” Soa masih berdiri di hadapan Arandra. Perhatiannya pekat menanti-nantikan setiap bagian cerita yang ingin diketahuinya.
Terlihat berat lelaki itu mengangguk. “Aku mengakui bahwa aku memang mencintaimu di waktu yang salah Soa.”
Gadis itu pun tertegun mendengar pengakuan itu.
“Saat itu Sancho memberiku tugas untuk menjadi pengawal pribadimu. Awalnya kau pun melihatku dengan kebencian. Aku maklum akan hal itu, karena yang kau tahu aku adalah orang yang sepihak dengan Sancho. Tetapi... entah bagaimana aku menjelaskan cara cinta bekerja. Kau yang selalu terlihat murung selama menjalani pernikahan itu pada akhirnya bisa pelan-pelan mencurahkan perasaanmu kepadaku.”
“Jadi aku semakin mempercayaimu,” Soa bergumam menyimpulkan.
Arandra tersenyum mengingat masa lalunya. “Begitulah. Ada begitu banyak hal yang pada akhirnya membuat kita semakin berteman baik. Lebih dari sekedar hubungan kerja.”
“Dan pertemanan baik itu berubah menjadi cinta?”
Arandra mengangguk membenarkan.
“Ya ampun. Jika suatu saat aku menulis novel aku akan mengangkat kisah ini.”
“Oh ya? Apa judulnya?”
“Pengawalku kekasihku.”
Arandra terbahak-bahak akibat celoteh Soa.