Tanpa ingin tergesa-gesa Soa berjalan pelan-pelan menuju halte bus. Di sampingnya sudah ada Arandra yang setia menemani. Sepanjang jalan Soa tidak berkata sepatah kata pun. Ia sibuk dengan pikirannya, dan hal itu membuat Arandra jadi bingung harus berbuat apa. Sekaligus khawatir kalau-kalau konsentrasi gadis itu berkurang, maka ia akan ceroboh, lupa untuk menghentikan bus di mana dia harus turun.
“Jadi cerita itu sangat mengganggumu.” Lama terjebak dalam hening, Arandra akhirnya memulai percakapan lebih dulu.
“Hem,” Soa tersadar. Ia bangun dari lamunannya dan membalas ucapan Arandra yang samar-samar ia dengar. “Aku tidak tahu. Tapi setelah aku mendengarkannya... perasaanku mendadak tidak enak.”
Arandra terdiam sebentar. Memandang penuh gadis yang berjalan sejajar di sampingnya. “Kalau begitu lain kali aku tidak akan bercerita lagi.”
Langkah gadis itu mendadak terhenti. Ia biarkan dirinya sejenak tertinggal di belakang teman hantunya.
“Tidak boleh!” protes gadis itu langsung.
Arandra yang terkejut mendengar jawaban itu ikut berhenti, lantas berbalik menoleh kepada Soa.
“Kenapa tidak boleh?”
Soa menarik nafasnya dalam-dalam. “Sesulit apa pun aku menghadapi masa laluku, aku masih mau mengetahuinya lebih banyak. Kau jangan coba-coba menutupi kebenarannya, atau aku akan marah!”
Mengerut dahi Arandra mendengar hal itu. Ia tampak kesal oleh sifat keras kepala Soa yang sulit sekali dikendalikan. “Apa kau pikir aku ingin membuatmu pingsan?!”
“Aku tak peduli!”.
“Haruskah kau memaksa?!”
“Aku tidak memaksa. Kau sendiri yang membuat hal ini jadi tersendat. Apa susahnya menjawab apa adanya setiap kutanya.”
Arandra bertolak pinggang semakin sewot. “Sekarang kau jadi menyalahiku?!”
“Tidak. Kau saja yang mudah tersinggung!”
“Nah! Sekarang kau sebut aku mudah tersinggung.”
Soa mendesah dalam. “Hei Arandra. Jadilah hantu yang manis dengan menjadi teman yang baik untukku.”
“Kurang baik apa aku?! Aku melakukan itu untuk melindungimu. Kau terlihat jadi mengenaskan dengan rasa penasaranmu!”