[Hai waktu, apa kau punya persepsi yang dapat kau bagikan tentang dirimu sendiri padaku?
Aku penasaran, seberapa banyak denyut jantungmu sudah berdetak? Sering sekali aku mendengar komentar para manusia yang merasa detakmu lebih cepat dari detak jantung mereka.
Baru saja mereka menyapa mentari, lalu tiba-tiba sudah berganti gelap dan memeluk kantuk. Baru kemarin sibuk bermain di taman kanak-kanak, lalu tiba-tiba sudah berganti sibuk dengan jerawat dan keriput. Baru kemarin sibuk di sekolah, sekarang sudah sibuk bertahan hidup dengan setumpuk pekerjaan.
Dan karena aku juga manusia, sepertinya aku mulai sependapat.
Baiklah-baiklah, aku mengakui kalau kau adalah sosok paling disiplin dan konsisten di semesta ini. Kau tidak pernah datang terlambat, dan juga tidak pernah pergi terlalu cepat. Menurutku kau juga yang paling setia, dianggap atau pun tidak kehadiranmu oleh para makhluk bergerak, kau akan tetap di sana untuk menggandeng kami melangkah maju.
Tunggu-tunggu, jangan-jangan sebenarnya selama ini kau tidak pernah menggandeng kami?
Apakah kau menipu kami para manusia, hewan, matahari, bulan, bintang, pohon, tanah, air, udara? Kau seolah mendorong kami menaiki sepeda agar terus melaju, namun kau sendiri tidak menaiki sepeda yang sama dengan kami dan hanya menaiki sepeda statis.
Jangan curang! Kau biarkan kami muda lalu menua, kau biarkan kami kuat lalu kembali lemah. Lantas bagaimana denganmu? Apakah kau akan menemukan kematian?
Hmm, sebetulnya aku juga iba padamu. Kau sendirian dan tak punya kawan, memiliki pesaing pun tidak. Apakah kau pernah merasa kesepian menjalankan tugas dari Tuhan? Sayang kau tak berwujud materi, kalau saja kau memiliki rupa aku ingin mendengarkan suka dukamu sambil menyeruput secangkir kopi]
“Selamat ayah, yeeeeeeeee” tiba-tiba suara Gensi sangat amat terdengar di kamar Soa. Gadis itu bahkan sampai dibuat menghentikan goresan penanya. Soa jadi penasaran tentang apa yang telah membuat kakaknya teriak begitu kegirangan. “Hai Soaaaaaa apakah kau ingin mendengar berita bagus?” baru saja ingin mencari tahu, Gensi sudah berteriak lebih dulu menawarkan informasi. “Turunlah sekaraaaaaang.”
Soa pun memutuskan untuk turun ke ruang tengah menemui keluarganya.
Di sana ia sudah melihat senyum-senyum puas yang menghiasi bibir orang tua dan kedua kakaknya. Batinnya bergumam nakal. “Wah, aku sudah lama tidak melihat senyum itu di wajah mereka. Berapa banyak uang yang sudah mereka dapat?”
Gensi bergegas menghampiri Soa dan menarik tangan adiknya penuh semangat. Di depan suami dan orang tuanya, ia mengguyur Soa dengan cerita yang membuat satu keluarga gembira.
“Soa, Ayah bilang cabang baru sebentar lagi siap.”
Soa terbelalak. “Apaaa! Kita akan punya cabang baru?” Soa sungguh tak percaya dengan yang dikatakan Gensi barusan. “Aku tak pernah mendengar rencananya sedikit pun,” tambah Soa. Wajahnya masih terheran-heran.
“Kejutaaaaaannnn,” seru Edzard, yang sedang terduduk di sofa bersama mertuanya.
Gensi melanjutkan. “Kau lihat, Soa! Kita akan mulai dari satu cabang lalu ke cabang selanjutnya dan akan terus bertambah. Bisnis kita memiliki prospek yang bagus, dan kita akan membangun kerajaan bisnis yang besar seperti mereka para orang kaya, hahaha ” Gensi penuh antusias sambil melonjak kegirangan seperti anak kecil yang memperoleh mainan baru. Orang tuanya hanya menjadi penonton, yang menikmati obrolan mereka sambil tersenyum-senyum. “Kita tidak akan hidup pas-pasan seperti ini lagi. Keuntungan yang kita dapat akan semakin besar. Kau dan aku akan tinggal di rumah yang bagus dan memiliki mobil mewah sesuai selera kita masing-masing,” tambah Gensi penuh dengan khayalan.