Petaka Grazian

Yulian Juli
Chapter #43

Ayah yang Menyakinkan | 43

   Seorang diri Soa merasa hatinya gusar. Gadis itu terduduk di tepi tempat tidur dengan raut wajah yang tampak kesal. 

   “Apa-apa’an aku ini!” sewotnya pada diri sendiri. “Kenapa aku harus marah pada mereka?! Kenapa mereka menjadi sasaranku?! Kau harus dengar Soa! Ini adalah keberuntungan yang kebetulan saja hadir disaat Ken sudah tidak bersamamu. Jadi berhentilah berpikir negatif kepada ayahmu sendiri!”

   Soa menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Ucapan Zoe tidak masuk akal, Soa. Ucapan Zoe tidak masuk akal! Berhentilah, berhentilah berprasangka buruk!”

   Tiba-tiba saja pintu kamar Soa terdengar diketuk. Felix hadir dan memohon izin kepada putri keduanya untuk masuk ke kamar dan berbicara.

   Walaupun perasaan Soa sedang tak menentu, namun dengan ketulusannya ia biarkan ayahnya masuk dan turut duduk di tepi tempat tidur bersamanya.

   “Maafkan, Ayah,” langsung saja Felix memohon setelah duduk di samping putrinya.

   “Untuk apa?” Soa yang terkejut sekaligus bingung balik bertanya.

   “Karena saat itu tidak bisa mempertahankan, Ken.”

   Seketika air mata Soa tak terbendung. Sorot matanya begitu dalam mengamati ayahnya.

   “Ayah tahu kalau kau masih kecewa dengan keputusan, Ayah.” Felix menyeka dengan lembut air mata sang putri. Dilihatnya sang putri termenung dalam mendengarkan ungkapan hatinya. “Tetapi Ayah mohon padamu. Tetaplah bersama Ayah, memberi Ayah dukungan agar bisa menata masa depan keluarga kita.

   “Ayah ingin kita bisa sama-sama meninggalkan luka yang menyakitkan. Menjadi keluarga yang kompak, bahagia dan tidak ada lagi kehilangan seperti dulu karena kesulitan ekonomi yang kita hadapi.

   “Kau, Gensi, dan ibumu adalah prioritas Ayah saat ini. Ayah tidak mau kalian kesusahan lagi. Ayah ingin melihat senyum dari kalian semua. Setiap hari, setiap saat.

   “Percayalah pada Ayah, Soa. Ayah sungguh-sungguh akan berusaha membahagiakan kalian, meski Ayah bukanlah seorang ayah yang sempurna.”

   Seketika Soa langsung memeluk ayahnya. Pelukannya begitu erat, diiringi oleh isak tangisnya yang belum mereda. 

   “Maafkan aku, Ayah. Seharusnya aku paham, kalau yang Ayah rasakan jauh lebih sulit dari pada aku.”

   Felix tersenyum lembut mendapati perubahan sikap Soa. Ia balas pelukan itu tak kalah hangat, membelai rambut sang putri dengan penuh kasih sayang. Batin pria itu merasa lega, telah berhasil memperoleh kepercayaan penuh dari putrinya.

   Di lain sisi, di depan pintu kamar Soa, diam-diam ternyata Gensi dan Edzard sudah berdiri di sana untuk mendengar percakapan mereka. 

   “Ayo kita turun,” bisik Gensi pada Edzard merasa sudah cukup puas menguping.

   Edzard tak ragu menyusul istrinya. Pelan-pelan mereka menuruni deretan anak tangga, tidak ingin Soa sampai sadar menangkap.

   Sesampainya mereka di lantai bawah.

   “Untunglah, Ayah sudah berhasil menenangkannya,” ujar Edzard.

Lihat selengkapnya