“Soa, aku masih belum menemukan jawabannya.”
Kalimat pendek itu menjadi rintihan yang tak terdengar oleh orang-orang yang ia cintai. Pipinya masih basah, akibat tangisan yang tidak kuasa ia pendam. Ken berselimut kesenyapan, terduduk di atas meja belajarnya dengan tangan sibuk mewarnai gambar yang sudah ia buat sendiri.
Gambarnya memantik tanya, ada orang yang ia cintai di sana. Ayah, ibu, dan ketiga kakaknya, namun bocah itu tak tampak di antara mereka. Ken memilih bersembunyi dari goresan krayonnya, persis seperti ia menyembunyikan duka citanya.
Tak lama kemudian pintu kamarnya dibuka. Bocah itu dengan cepat menghapus air matanya. Seorang wanita paruh baya masuk membawakan biskuit dan susu hangat untuk Ken.
Setelah wanita itu meletakkan kudapan untuknya di atas meja, ia belai dengan lembut bocah yang sudah dianggapnya sebagai anak itu. Ken yang masih belum nyaman dengan kehadiran sosok wanita itu di dalam kesehariannya, masih tampak kikuk menerima belaian kasih sayangnya.
“Kau ingin makan yang lain?” katanya menawarkan, padahal kudapan itu pun belum disentuh Ken sama sekali.
Ken menggeleng lemah. Dengan penuh kesopanan ia membalas, “Ini sudah cukup, Bi.”
“Oh Ken. Sudah sering kukatakan untuk jangan memanggilku, Bibi,” pintanya entah untuk ke berapa kali. “Panggil aku Ibu. Apa ini masih terlalu sulit untukmu?” lanjutnya menyisipkan pertanyaan.
Untuk sekian kalinya juga Ken merasa risi mendengar permintaan wanita itu, sosok yang ia kenal dengan panggilan bibi Molly sedang berusaha mengakrabkan diri dalam ikatan baru, yaitu ibu dan anak.
Ken tak menyahut apa pun, hanya bisa mengunci mulut lalu melanjutkan gambarnya. Molly masih enggan beranjak pergi. Gambar yang ia lihat menarik perhatiannya untuk tetap berada di belakang Ken. “Kau hanya menggambar wajah mereka? Aku tidak melihat wajahmu,” tanyanya tanpa tahu bahwa itu sama saja menambah kekacauan hati bocah itu.
“Hanya mereka yang aku inginkan,” jawab Ken singkat, seraya tetap sibuk dengan gambarnya.
Molly jadi merasa iri, karena bukan dirinya yang diinginkan anak angkatnya itu. “Kapan kau akan menggambar kita bertiga?” tanyanya mencoba mengintip isi hati Ken.
Anak angkatnya itu langsung menghentikan pekerjaannya. Ia tatap Molly dengan raut muka terheran-heran. “Kita bertiga?” katanya.