Petaka Grazian

Yulian Juli
Chapter #48

Psikiater | 48

   Dengan santai Soa menyandarkan badannya sambil menyilangkan tangan. Ia beri sorot mata menilai kepada Gensi, “Kau seperti api yang disiram bensin. Bersikap lembut penuh perhatian tidak pantas dengan sisi apimu itu.”

   Gensi semakin kesal. “Dan kau adik yang selalu memancing amarah kakaknya! Kau tidak pantas mendapat perhatian dari orang-orang di sekitarmu.”  

   “Aku tidak pernah meminta.”

   “Dasar menyebalkan!” Gensi bangkit berdiri. Namun Edzard tiba-tiba muncul dan menengahi mereka berdua. Meski ia tidak paham betul persoalannya, tapi suara tinggi Gensi sudah menjelaskan bahwa ada keadaan buruk yang terjadi di antara dua kakak beradik itu.

   “Apa kalian tidak sadar menjadi pusat perhatian?!” ucapnya cemas. Mendengar hal itu Gensi lalu melirik ke sekitarnya. Edzard benar, pengunjung restoran di lantai atas sedang memperhatikan mereka. 

   “Istrimu sangat suka menjadi tontonan,” celetuk Soa tetap santai. 

   Gensi berusaha menekan emosinya. Sementara Edzard berusaha menenangkan Gensi sambil merangkulnya, tidak ingin istrinya melompat ke atas meja lalu dengan gusar menjambak rambut Soa. “Bersabarlah, setidaknya sampai restoran ini tutup,” bisik Edzard semampu yang ia bisa agar istrinya tidak mengamuk.

   Gensi lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya, lalu dilemparnya benda itu ke hadapan Soa. “Tadinya aku ingin memberikan itu baik-baik kepadamu, tetapi seperti biasa, kau selalu ingin mengajakku bergulat.”

   Soa mengambil benda kecil itu. Sebuah kartu nama yang membuatnya merasa aneh sekaligus terkejut. “Untuk apa kau memberiku kartu nama psikiater?” tanyanya bingung.

   “Untuk menyembuhkan penyakit jiwamu,” ketus Gensi, lalu bergegas pergi membawa amarahnya dan meninggalkan Soa yang langsung bangkit berdiri karena kesal disebut begitu.

   “Apa maksudnya?!” tanya Soa berang. Tatapannya tajam mengarah kepada Edzard yang ia tahu memahami arti dibalik tindakan kakaknya itu. Namun Edzard masih diam, bertingkah seperti orang linglung. “Hei kacamata! Jawab aku!” tuntut Soa lagi.

   Edzard menggaruk-garuk kepalanya dengan keras, akhirnya ia tak dapat menahan diri. “Akh! Ini semua gara-gara kau sering terlihat berbicara sendiri. Kakakmu mengkhawatirkan keadaanmu!” Soa tertegun dengan pengakuan Edzard. Ia sama sekali tak paham dengan pengakuan itu.

   “Aku tidak pernah berbicara sendiri!” tepis Soa, masih belum menemukan jawaban.

   “Orang sakit bisa saja tidak sadar kalau dia sedang sakit,” balas Edzard.

   “Aku tidak sakit!” Soa masih tidak terima.

   “Lalu bagaimana dengan yang kulihat?! Aku melihatmu berbicara sendirian di seberang restoran sebelum kau terjatuh tempo lalu. Bahkan bukan cuma itu, aku juga pernah melihatmu berbicara seorang diri ketika kau menghabiskan waktu istirahat di Convenience Store,” tutur Edzard yakin. 

Lihat selengkapnya