“Berhenti berpura-pura menjadi kakak yang baik!” Soa masih belum puas.
“Yeah ... aku menyesal,” balas Gensi enteng.
“Jangan pernah ikut campur urusanku!”
“Dengan membiarkanmu berbicara sendiri? Baiklah, dengan senang hati aku akan melakukannya. Entah apa yang akan Ayah katakan, jika dia melihat hal itu secara langsung.”
“Kau tidak tahu apa-apa, Gensi!”
“Kau benar, banyak kegilaanmu yang belum kutahu.’
“Sudah kubilang aku tidak gila!”
“Baiklah aku percaya.”
“Urus saja restoran ini!”
“Aku sudah sangat baik melakukannya. Berbeda sekali dengan dirimu yang hanya setengah hati.”
“Oh ya? Kalau begitu berterima kasihlah padaku, karena aku telah memberimu kesempatan untuk mendapatkan citra baik di mata ayah.”
“Kau!” Gensi terbelalak dengan kalimat itu.
“Kenapa?! Kau ingin mengelaknya? Tidak ada diriku menjadi hal yang sangat kau harapkan, bukan?! Keuntungan besar buatmu jika aku betul-betul gila!”
Ucapan terakhir Soa berhasil menjadi peluru yang menembus jantung Gensi. Tiba-tiba saja ia tidak berani menatap mata adiknya. Sikap menantangnya langsung ciut, ia mendadak seperti anak kucing kedinginan. “Ti - tidak seharusnya kau berpikir begitu padaku. Itu ... prasangka yang terlalu buruk, Soa.”
Soa mendesah muak. “Seperti yang kau bilang. Kau tidak pandai berbohong,” tembaknya lagi.
Gensi langsung diam tak berkutik. Ia pun jadi tidak bernafsu melanjutkan pertengkaran mereka lagi. Wanita itu tidak bisa merasa dirinya dipojokkan, karena memang begitulah perasaan yang sempat meliputi batinnya. Begitu juga dengan Soa, ia merasa letih menghadapi emosi kakaknya, energinya sudah terbuang banyak, dan sebetulnya ia juga tidak peduli kalaupun Gensi ingin menguasai restoran.