“Tertawalah sepuas hatimu,” susul Andel sewot. Hanya bisa mengalah, tidak sanggup jika harus melarang gelak itu muncul.
“Maaf, maaf,” kata Soa di penghujung tawanya. Merasa sudah puas tergelak, tiba-tiba saja sebuah ide menarik terlintas di dalam kepalanya. “Eh, itu berarti ... aku bisa mengajakmu makan es krim, bukan?”
“Es krim?”
“Ayolah ...” dengan penuh semangat Soa langsung menarik tangan Andel dan membawa ia berjalan ke sebuah kafe yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Apa kau yang akan membayar es krim itu?” Andel dengan polosnya bertanya di tengah perjalanan mereka.
“Tentu saja.”
“Waaahh ... jadi sebentar lagi aku akan makan es krim.”
Soa melirik sebentar kepada Andel. “Kau seperti tidak pernah mencobanya saja,” gumamnya heran.
Andel yang mendengarnya tanpa malu-malu tersenyum. “Hei Soa, seperti apa rasa es krim itu?”
Soa melepas genggaman tangannya seraya menghentikan langkah di depan persimpangan jalan. “Hah? Jadi kau betul-betul belum pernah mencobanya?”
Malaikat itu menggeleng lagi-lagi dengan lingkar senyum.
“Ya ampun. Kau benar-benar aneh,” celetuk Soa kepadanya. “Es krim itu punya rasa manis.”
“Oo ...”
“Jika kau memasukkannya ke dalam mulut. Rasanya dingin, krimnya meleleh dan ...-“ gadis itu melihat Andel yang melongo membayangkan setiap ucapannya. “Aih ... sudahlah!”
“Kenapa?” Andel keheranan.
“Nanti kau coba saja sendiri! Kau harus mengalaminya untuk mengerti.”
“Huaaa, kau membalikkan kata-kataku.”
Soa mengangkat dagunya. “Memangnya kau saja yang ahli membimbing orang lain. Dalam dunia reinkarnasi dan hati, kau memang lebih berpengetahuan. Tetapi dalam dunia es krim di kota ini,” Soa menepuk dadanya. “Aku yang paling tahu.”