“Tentu ingin. Tetapi akan ada saatnya.”
“Oo ... lalu, apa di setiap musim kau selalu makan es krim?” tanya Andel lagi.
“Ya, dulu.”
“Dulu?” Andel penasaran.
“Saat aku masih kecil, Gensi selalu membelikanku es krim di setiap musim.”
Andel terlihat takjub. “Wah, ada riwayat hidupmu yang terlewat dariku rupanya. Jadi kalian pernah sangat dekat? Itu terdengar indah.”
Melayang pikiran Soa memasuki kenangan. “Begitukah?” ia merasa tak yakin. “Menurutku itu hanya masa kecil yang sudah usang. Aku bahkan tak tahu kalau itu indah. Yang kusadari adalah kami sudah sama-sama dewasa dan memiliki hubungan buruk, entah sampai kapan.”
Malaikat itu mengernyitkan dahinya, lantas kembali bertanya. “Apa kau merindukan saat itu?” Soa tergemap mendengar pertanyaannya. “Maksudku ketika kau menerima es krim dari tangan Gensi,” Andel semakin memperjelas.
Gadis itu bermenung. Ingatannya yang berjalan mundur, membawanya pada saat Gensi dengan senyum manis datang menyapa. Menyembunyikan tangannya di belakang dan meminta Soa untuk menebak apa yang sedang digenggamnya. Soa kecil penuh antusias menjawab, dan tertawa bahagia ketika yang di tunjukan Gensi adalah jawabannya yang tepat. Es krim favoritnya.
Atau, kalau tidak dengan cara itu, Gensi akan memberikan teka-teki kepada Soa, dan es krim pun akan muncul menjadi sebuah hadiah yang menarik jika jawabannya benar. Walaupun salah, tetaplah bukan masalah. Gensi akan tetap memberikannya sebagai hadiah hiburan.
Begitulah, banyak cara bagi Gensi untuk memberikan Soa es krim. Semua itu selalu mampu melahirkan canda dan tawa di antara mereka. Namun seketika ingatan itu berubah, wajah Soa yang sempat berseri karena kenangannya seketika berubah menjadi tampak keruh melahirkan sebuah jawaban yang tercetus begitu saja dari mulutnya. “Tidak!” kali ini ia terdengar sangat yakin.
Andel berhasil dibuat terkejut oleh jawaban Soa. Menarik nafas panjang malaikat itu, hingga kepalanya menggeleng-geleng tak habis pikir. “Kau sama saja seperti kakakmu, tidak pandai berbohong!”
Berkerut dahi Soa menampakkan kebingungan. Berpikir bagaimana bisa malaikat di depannya berkata begitu?
Sampai akhirnya ia baru menangkap.
“Kau?!” Soa membelalak memahami maksud Andel. “Astaga! Untuk apa kau bertanya kalau ujung-ujungnya kau mengintip pikiranku?! Berhentilah membaca pikiran orang lain, karena pikiran adalah ruang privasi!”
Malaikat itu memilih tak peduli dengan protes yang diutarakan Soa. “Jadi kau merindukannya,” simpul Andel santai.
Soa merasa terpojok. “Aku merindukan es krim!” ia masih mengelak.