Tiba-tiba saja obrolan Soa dan Andel harus stop sampai di sana. Dering telepon genggam Soa telah berbunyi, memanggilnya untuk menerima tugas dari sang ayah.
Terdengar jelas Felix memerintahkan anak perempuannya untuk pulang sebentar mengambil dokumen penting, lalu mengantarkannya kembali ke restoran. Sebetulnya Soa berat hati untuk bolak-balik melakukan itu, apa lagi ia harus bertemu lagi dengan kakaknya. Tetapi Soa merasa tidak mungkin menolak permintaan ayahnya. Ya, Soa memang gadis yang keras dan sering menentang, namun jika ia sudah mendapat tugas soal restoran dari sang ayah, mau tidak mau ia harus mematuhi perintah, karena di sanalah ia diharuskan memberi kesetiaan.
Soa bergegas mengambil tasnya. Hari pun telah melewati senja, ia tidak ingin membuang waktu hingga membuat ayahnya lama menunggu. “Aku harus pergi sekarang. Ayahku memintaku untuk -“
“Ya, aku tahu,” Andel langsung menyela.
Soa pun langsung melirik masam. “Ingat, privasi!”
“Justru aku menghemat waktumu,” sahut Andel.
Soa tersadar, sepertinya permintaan menjaga privasi dengan cara tidak membaca pikiran orang lain akan sia-sia. “Terserah,” balas gadis itu pada akhirnya. Ia pun bangkit berdiri seraya menyampirkan tasnya di bahu, memberi lambaian kilat sebagai salam perpisahannya kepada Andel, lalu berjalan cepat-cepat mengejar waktu.
Tepat. Ketika Soa menarik gagang pintu untuk keluar dari kafe es krim itu, ia berpapasan dengan pengunjung yang baru datang. Pria dengan rambut yang sudah ditumbuhi uban disertai garis-garis menua di wajah yang tampak jelas, mengetuk nurani Soa agar mempersilahkannya untuk masuk lebih dulu. Senyum pria itu langsung mengembang, terselip dua titik lesung pipi yang menghias, membuat Soa sadar bahwa wajah di hadapannya tak asing untuk dikenali.
“Terima kasih,” ujar pria itu. Ia berlalu melewati Soa yang tak berkutik berusaha mengingat-ingat.
“Paman Hector?” gumam Soa tiba-tiba.
Samar-samar Pria itu mendengar. Lantas berbalik menengok ke arah Soa meski terlihat agak ragu. Kemudian ia bertanya, “Kau memanggilku?”
Soa jadi merasa gugup. “Oh maaf. Sepertinya aku mengenal Paman,” jawabnya. Diam-diam semakin yakin kalau pria itu adalah orang yang pernah akrab dengannya sewaktu ia masih remaja dulu.
Pria itu mengamati Soa lebih teliti, ikut berusaha mengingat-ingat siapa gadis di depannya. “Apa kita pernah bertemu?” ia bertanya lagi, masih belum menemukan jawaban.