Di ruang kantor restoran. Felix sedang kedatangan seorang tamu yang dianggapnya sangat penting. Ialah Kalevi, berpakaian lengkap dengan setelan jas hitam. Duduk dengan sikap sempurna selayaknya seorang pejabat tinggi di sebuah perusahaan.
Gensi dan Edzard juga turut menemani. Mereka terkesan canggung dan menjaga sikap di hadapan pria itu.
Untuk ke sekian kali Felix memperhatikan arlojinya. Waktu menunjukkan pukul setengah delapan malam, ia sudah mulai cemas karena putri keduanya belum juga muncul di tengah mereka.
“Kalian sudah meneleponnya lagi?” tanya Felix kepada Gensi dan Edzard.
Edzard mengangguk, langsung mengambil celah untuk menjawab. “Tetapi teleponnya masih tidak aktif,” ucapnya mengiringi.
Tamu yang duduk di depannya mendesah. “Apa putrimu terbiasa datang terlambat?” tanya Kalevi membalas. Nadanya terkesan tidak suka.
Felix jadi merasa tidak enak hati. Gensi dan Edzard saling melempar pandangan, seperti sedang sama-sama mengiyakan bahwa begitulah kebiasaan buruk Soa.
“Biasanya dia tidak seperti ini,” Felix berusaha mengendalikan keadaan dengan ucapan bohongnya. Padahal ia juga tahu, Soa bukan anak yang terbiasa tepat waktu.
“Oh, biar aku pesankan kopi lagi untuk Tuan,” Edzard mencoba mengalihkan.
“Tidak perlu,” pria itu menjawab singkat dengan ekspresi wajahnya yang datar.
“Tidak apa-apa Tuan. Biar aku minta pelayan membuatkannya,” tambah Edzard.
Seketika Pria itu melirik Edzard dengan tatapan tak suka. “Apa kau tidak dengar?” balasnya tak disangka. “Sudah kubilang kan, kalau aku tidak menginginkannya.”
Mendapati sikap dingin pria di depannya Edzard jadi merasa dihempas begitu saja seperti lalat yang mengganggu. Gensi dan Felix juga merasa tertular semakin tak enak hati. Mulut mereka jadi merasa langsung di kunci tak ada kata untuk menimpali. Pada akhirnya keheninganlah yang mendekap setia di antara mereka.
Tidak berapa lama kemudian.
‘Krekk’ terdengar suara pintu dibuka memecah kesunyian para penghuni ruangan.
Soa yang ditunggu telah datang. Saking terburu-buru ia lupa mengetuk pintu itu, membuat yang di dalamnya sedikit terkejut bahkan juga merasa agak aneh melihat Soa yang terengah-engah memasuki ruangan dengan wajah pucat dan rambut agak berantakan.
“Kenapa kau lama sekali!” Gensi langsung bangkit dari duduk dan menyongsong adiknya itu dengan nada sedikit tinggi. Sudah dipastikan itu bukanlah sebuah pertanyaan melainkan amarah yang tertahan meluap kuat. Kalaulah tidak ada tamu di dekatnya, pasti suara itu akan terdengar jauh lebih tinggi lagi.
Soa memberikan map yang dibutuhkan ayahnya kepada Gensi. Lalu buru-buru si putri sulung itu lanjut menyerahkan map di tangannya kepada tamu penting mereka.