Sesaat kemudian Dori melepaskan pelukannya. Menatap mata Soa dalam-dalam, dan tangannya kuat meremas lengan sahabatnya untuk bersikap mencerahkan.
“Tenanglah. Kita tidak mungkin mencari jalan keluar dalam keadaan kacau begini. Kita harus sama-sama bisa mengendalikan diri. Kau harus istirahat dulu Soa, kau terlihat sangat lelah. Besok sama-sama kita pikirkan jalannya. Aku rasa kita harus melibatkan Zoe, dia tahu lebih banyak informasi tentang keluarga Jorell. Aku harap kau tidak keberatan untuk berbagi cerita juga dengannya. Dengan semakin banyak informasi yang bisa kita dapat, maka langkah yang tepat dapat kita ambil.”
Soa segera membersihkan air mata di pipinya. Mengingat Zoe adalah orang pertama yang sempat mencurigai kesepakatan kedua orang tuanya dengan Molly, ia pun mengangguk setuju.
Rasa letih yang telah menumpuk membantu Soa untuk terlelap menikmati malam agar kembali mengisi energi. Sayang, seharusnya ia mendapat tidur dengan mimpi yang lebih baik, namun alam mimpi sedang tidak memberikan keindahan kepadanya.
Alam itu memberikan Soa gambaran situasi yang amat buruk. Ken hadir di dalam tidurnya, duduk di pojok ruang gelap menangis memanggil-manggil nama Soa.
Gadis itu berusaha menghampiri adiknya, sekuat tenaga berteriak keras agar Ken sadar dengan kehadirannya dan balas berlari menghampiri. Namun sedikit pun mulutnya tak bisa bergerak. Ia hanya bisa berteriak di dalam batinnya.
Ken tak mendengar sedikit pun dan terus menangis memanggil. Bahkan meski Soa berlari mengejarnya bocah itu sama sekali tidak semakin dekat. Ken tetaplah jauh tak teraih. “Soa tolong aku... aku takut!” begitulah Ken berteriak dengan tangisnya. Hingga akhirnya bayang-bayang itu redup, tak tampak apa pun lagi di mata Soa.
Soa tersentak seketika. Matanya langsung melihat cahaya dan jantungnya terasa berdebar kencang. Kesadarannya pelan-pelan mulai pulih, ia lalu bangun terduduk namun pikirannya masih tersangkut mengingat mimpi. Yang dilihatnya memang cuma sekedar gambaran kosong, tetapi rasa ketakutannya adalah sesuatu yang nyata dirasa.
Di sampingnya terlihat Dori yang tertidur lelap, Soa merasa bersyukur karena tidak mengganggunya. Matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 4 pagi. Gadis itu memutuskan keluar kamar, membawa gelas kosong di atas meja tepi tempat tidur untuk mengisinya dengan air putih.
Di depan kamar Dori sudah tersedia dispenser. Air putih yang mengalir di tenggorokannya membuatnya merasa lebih baik. Segelas ia rasa belum cukup, ia menginginkan air segar yang masuk ke tubuhnya lebih banyak. Ketika gadis itu ingin menekan tombol dispenser untuk kedua kalinya, tiba-tiba udara hangat yang tak asing datang menyapa tanpa sungkan.
Andel, menampakkan diri di balik tubuhnya.