“Aku yakin pasti ada jalan!” Soa berseru teguh dengan keyakinannya.
“Ya. Kecuali kau mencari penggantinya.”
Mata Soa terbuka lebar. “Apa maksudmu pengganti?”
“Pilihan ada di tanganmu Soa. Mereka bisa saja menyerahkan Ken kepadamu. Tetapi bisnis tetaplah bisnis, mereka tidak akan mau kehilangan keuntungan yang sudah di tangan. Tidak peduli siapa yang menjadi korban, mereka harus mendapatkan yang menjadi tujuan.”
Soa menatap Andel begitu tajam, pandangannya memancarkan rasa tidak suka. “Apa baru saja kau mengatakan, bahwa aku harus mengambil tindakan yang sama kejinya seperti ayahku?!”
Malaikat itu tersenyum sinis. “Itu pilihanmu. Dan hanya itulah jalan satu-satunya jika kau ingin adikmu selamat.”
“Tidak mungkin Andel!” Soa berkata keras. “Tidak akan ada anak lain yang menjadi korban juga!” ia begitu marah dengan ucapan malaikat itu.
“Kalau begitu relakanlah adikmu agar tidak ada anak lain yang menjadi korban.”
“Andel!” Soa tak sanggup melanjutkan ucapannya. Nafasnya tersengal-sengal berusaha menahan amarah.
“Dengarlah Soa–aku tidak akan mendorong dirimu ke arah mana pun. Kebebasanmu memilih tidak akan kuganggu gugat. Aku hanya akan menyampaikan pilihan-pilihan jalan yang bisa kau lewati, dan tetaplah kau menjadi si pemegang kemudi. Jika mobilmu sampai pada tujuan yang kau inginkan, maka indahnya untuk dirimu sendiri. Namun jika mobil itu sampai masuk ke jurang, maka rasa sakitnya hanya kau yang akan menikmati. Pikirkanlah, nasib mana yang ingin kau tempuh. Ah ya! Selayaknya kau meminum obat, Jangan kau lupakan juga efek sampingnya.”
Andel melenyapkan diri begitu saja setelah kata-kata itu terucap dari bibirnya.
Gadis yang ditinggalkannya sendiri masih tertegun dengan air mata yang belum juga kering. Ia merosot pada dinding hingga terduduk lemas di atas lantai, pikirannya semakin kusut tak tentu arah. Ia meremas kepalanya dan menjambak-jambak rambutnya begitu kesal karena menemukan persimpangan yang amat rumit. “Bagaimana ini ya Tuhan....” rintihnya merasa tragis.
***