“Tapi ... ada hal lain yang aku takutkan,” Soa melanjutkan memberi kejutan.
“Apa itu?” Andel buka suara, tak bisa menahan rasa penasarannya.
“Jika ragaku telah berlutut kepada mereka, apakah hatiku juga akan ikut tunduk? Hidup dengan ambisi menguasai, bahkan tak segan-segan menyingkirkan siapa pun yang menghalangi.”
Terketuk nurani malaikat itu atas kekhawatiran manusia di dekatnya. Andel merasa iba, sekaligus masih dalam sembunyi merasa bahagia mendengar kalimat Soa. Itu artinya, Soa yang ia bimbing telah memiliki kesadaran penting untuk bersikap waspada diri bahwa akan ada godaan besar yang menimpa.
Melihat gadis itu berdiri khawatir, Andel merasa seolah melihat sahabat manusianya sedang berjalan melewati jalan curam. Hanya ada dua kemungkinan yang menjadi hasil, manusia itu tetap berjalan maju dan selamat, atau ia akan terpeleset terjatuh ke dasar jurang yang dalam. Dengan dia memiliki kesadaran di awal, peluang ia bisa selamat melewatinya menjadi lebih besar di banding kegagalannya.
“Kau hanya bisa menjawabnya ketika kau menghadapinya,” balas Andel sederhana.
Soa tersentak mendengar kalimat itu. Ia terkesima menemukan pemahaman baru.
“Kau benar. Aku tidak ingin menjilat ludahku sendiri karena terlalu yakin bahwa aku tidak akan melakukan hal buruk. Itu berarti aku harus kokoh berdiri di atas kebenaran yang aku pahami, bukan?”
Andel tersenyum puas karena pasiennya semakin mengerti.
Soa menarik nafasnya dalam-dalam. Menghirup udara segar yang masuk dengan lembut dari luar jendela.
“Kau tahu Andel, aku sempat merasa rendah diri karena keluarga Jorell memiliki modal yang banyak untuk berhasil menjadikan Ken sebagai kurban persembahan mereka. Sementara aku hanya memiliki dua modal untuk bisa menggagalkannya.
“Tapi... kemudian lagi-lagi aku menemukan kesadaran, bahwa dua modal yang kumiliki tidak kalah hebat dengan apa yang mereka punya.”
“Oh ya. Apa yang menjadi modalmu?”
“Keberanian dan keyakinan.”
“Maksudmu?”
“Keberanian untuk menerima takdirku dan menghadapi mereka. Serta keyakinan, bahwa Yang Absolut akan melindungiku dan juga Ken.”
***
Soa masih saja hanyut pada pikirannya sendiri dan mengunci mulutnya seraya menyusuri jalan di tengah Kota Melvin dengan harapan dapat menjemput sang adik.
Zoe yang berada di samping Soa masih setia mengemudi sedan tua. Dibalik kesibukannya menyetir, meski ia memahami kekalutan temannya, tapi sebetulnya Zoa tak tahan ingin sekali memecah keheningan di antara mereka yang telah ada sejak awal perjalanan. Akan tetapi keraguan masih menyelimuti Zoe, sungkan mengganggu sahabat perempuannya itu memekur sendiri.