Molly mulai merasakan sesuatu yang buruk di antara mereka akan terjadi. Akan tetapi ia tidak ingin cepat-cepat menaruh curiga. “Oh, begitu ya,” balasnya kembali mengembangkan senyum. “Kau ingin minum apa?”
“Tidak perlu. Aku tidak ingin membuang-buang waktuku.”
Senyum di bibir Molly perlahan memudar, sorot matanya berubah awas. “Sepertinya kau sedang terlihat tidak ingin berbasa-basi,” katanya menyelidik.
“Kau benar. Berbasa-basi menghabiskan waktu dengan sia-sia. Lagi pula aku tidak pandai membaca ketulusan seseorang. Terakhir aku banyak berbasa-basi, kupikir hubungan akrab kami adalah wujud persahabatan. Tapi ternyata, diam-diam lawan bicaraku menyembunyikan hal yang membahayakan.”
Molly tersenyum hampa. Ia bisa membaca kalau Soa mulai menyerangnya secara halus. “Oh, sayang sekali. Perempuan pintar sepertimu bisa tertipu olehnya,” balas Molly.
Soa menggeleng-geleng dengan alisnya yang terangkat. Ia tetap berusaha tenang menghadapi apa pun yang akan menjadi jawaban Molly. “Bibi salah. Aku tidak pintar.”
“Aa... jangan merendah begitu Soa. Kau gadis yang pintar, kau hanya sedang sial karena berhasil ditipu oleh seseorang."
Soa memandang Molly penuh saksama. “Awalnya aku pun mengira begitu. Akan tetapi ternyata aku salah–bukan dia yang menipuku. Akulah yang telah memberi diriku sendiri kesempatan untuk mau mempercayainya.”
Molly tersenyum miris. “Kau pasti sangat menyesal.”
Soa sempat berjeda. Lalu kemudian ketegasan mengalir dalam jawabannya. “Tidak!” tepisnya mengejutkan Molly. “Karna aku masih bisa menebusnya.”
Terkesiap Molly dibuatnya, keberanian Soa telah menghunus jantungnya. Sembunyi-sembunyi perasaan tak nyaman itu semakin ia rasakan, dari bagaimana sejak awal gadis di depannya mulai menyindirnya, hingga gadis itu menangkapnya dengan sorot mata yang tajam terlihat jelas tak ingin melepaskan.
Molly ingin kukuh menunjukkan ketenangan. Tidak ingin gadis yang ia anggap masih ingusan itu menguasai perasaannya, meski situasi tidak nyaman itu tak mampu ia tampik. Serangan gadis itu telah menerobos, jauh ke dalam pertahanannya.
Wanita itu berdehem mengalihkan perhatian, lalu ia mengajukan pertanyaan yang sudah sejak awal dinantikan Soa. “Apa sebetulnya yang kau inginkan?”
Soa mengukir senyum sinis. “Akhirnya Bibi bertanya,” jawabnya masih tanpa ketakutan. “Aku kesini untuk menjemput Ken.”
“Apa kau bilang?!” wanita itu langsung tercengang. Lantas ia tertawa lebar tak percaya. Soa amat tidak menyukai balasan itu, balasan yang ditangkapnya sebagai sikap merendahkan. “Apa maksudmu? Apa kau lupa dengan perjanjian yang sudah dibuat oleh ayahmu?"
"Aku ingat,” jawab Soa percaya diri.
“Lalu? Kau ingin membuat mereka tidur di jalan?”