Bibo terlihat penuh cekatan mengambil bola karet yang dilempar bergantian oleh Ken dan Osya. Anjing itu telah berhasil menjadi penghibur. Sesekali Ken dan Osya terpingkal-pingkal oleh aksi Bibo yang tak berhasil dijebak dengan lemparan bola ke tempat yang lebih sulit di jangkau. Bibo yang gesit dan memiliki penciuman tajam selalu saja berhasil membawa bola itu kembali ke tangan mereka. Soa yang baru datang menghampiri bahkan ikut tertular oleh tawa dua bocah itu. Senyumnya juga semakin merekah kala ia melihat Ken yang terlihat semakin pulih dari demamnya.
“Kau terlihat semakin baik,” ucap Soa begitu berada di samping Ken.
Ken mengangguk bersemangat. “Kau obat demamku.”
Soa tercengang dengan ucapan adiknya, “Oh ya? Wah, sekarang kau semakin pintar bicara.” Soa mencubit lembut pipi Ken, bocah itu balas tersenyum lebar menunjukkan deret giginya yang tak sempurna karena ompong.
“Aku harus pintar bicara untuk menyampaikan perasaanku.”
Soa mengangkat alisnya. Ia lantas berlutut di samping Ken. “Seperti apa perasaanmu sekarang?” tanyanya penasaran.
Ken justru membisu mendengar pertanyaan itu.
“Kakak, aku permisi dulu.” Tidak ingin mengganggu ruang pribadi Ken dengan kakaknya, Osya yang sudah terlatih menjaga tata krama berkenan meninggalkan mereka berdua bicara.
“Osya, apa nanti kau mau main bersamaku lagi?” Ken menyempatkan diri bertanya.
Lalu sahabat sebayanya itu memberi senyuman sambil berkata, “Tentu saja, Ken.” Segera ia pun pergi sambil menggendong Bibo meninggalkan kakak beradik itu yang mengantarnya dengan senyum balasan.
Soa kembali memberi perhatian kepada adiknya. “Baiklah, sekarang jawab pertanyaanku. Bagaimana perasaanmu sekarang?”
Ken menghadapkan badan tepat ke arah Soa. “Aku senang, Soa. Aku bisa pulang ke rumah dan tak perlu mengumpulkan uang banyak untuk membeli keluarga.”
Soa terkejut dengan ucapan Ken. “Membeli keluarga katamu?” tanyanya terheran-heran. “Apa maksudnya?”
Bocah laki-laki itu tertunduk murung, enggan menatap mata kakaknya. “Soa... “ mulainya lagi terdengar lirih. Membuat Soa semakin ingin menyelidik makna dibalik perkataan adiknya. “Pertanyaan itu hanya alasanmu saja, kan?”
Gadis itu memasang muka bingung. “Apa maksudmu, Ken? Aku semakin tidak mengerti.”
Ken memberanikan diri mengangkat wajahnya. “Pertanyaan tentang menjadi dewasa itu. Aku tahu itu hanya caramu agar aku bisa keluar dari rumah dan mau menjadi anak angkat Bibi Molly. Dan kau sebetulnya tidak berniat menjemputku, kan?”