“Kau di sini gadis cantik!” Andel yang sedang asyik terduduk sendiri di pinggir sungai Arandra untuk menikmati sore, dikejutkan oleh datangnya seorang pria paruh baya.
Malaikat itu begitu lekat mengamati pria itu, kala ia melangkah menapaki jalan setapak di antara rerumputan untuk mendekat kepadanya. Orang asing yang tampak berusia sekitar 45 - 50 tahun, kepalanya setengah botak dan berkumis tebal. Tubuhnya sangat gemuk, tapi dia tidak terlalu tinggi untuk ukuran rata-rata kebanyakan pria yang tinggal di negara Denzel. Mungkin sekitar, 159 cm.
“Oh, Miron. Kau di sini,” ujar Andel saat mata malaikatnya menangkap siapa ruh dibalik pria yang menghampirinya itu.
Miron yang sedang berwujud sebagai pria tua ikut duduk tepat di samping Andel. Duduk di kursi panjang itu berdua membuat penampilan mereka jadi terkesan seperti ayah dan anak. “Minumlah ini,” ucapnya sambil memberi segelas kopi panas yang baru dibelinya.
“Kau punya uang?” tanya Andel cukup terkejut. “Atau ini hasil keajaiban yang kau buat?”
“Tenang saja, pasienku yang mentraktirku.” Mendengar apa yang terjadi pada Miron, membuat Andel jadi teringat oleh Soa dan es krim yang diberikannya. Dan tentu saja, mendengar bagaimana cara Miron mendapatkan dua gelas kopi itu membuat perasaannya tenang untuk meneguknya.
Sesaat kemudian mereka menyesap kopi itu bersama-sama.
“Ah... ini adalah hal yang paling kusukai jika mampir ke dunia manusia,” tutur Miron. “Meminum kopi sambil menikmati matahari yang ingin tenggelam.”
Andel tersenyum mendengar hal ini. “Ya. Aku setuju denganmu.”
Miron terbelalak atas apa yang dilihatnya. “Ho! Sudah lama aku tidak melihat air mukamu yang ceria. Apa kau sedang senang hari ini?”
Senyum Andel semakin melebar. “Benarkah?”
“Ya. Belakangan aku selalu melihatmu tampak tegang. Hm ... pasti ini ada hubungannya dengan pasienmu. Betul kan, aku?”
“Ya ... kau benar.”
“Wah. Apa yang terjadi dengannya sampai membuatmu semringah begini?”
Andel menyeruput lagi kopi di tangannya. Pandangannya berseri-seri memandang sungai Arandra yang airnya mengalir jernih membelah Kota Melvin menjadi dua wilayah. “Aku senang, dia memilih jalan sesuai dengan yang kuharapkan.”
“Benarkah?!” Miron tercengang mendengarnya. “Maksudmu... dia mau menjadi tumbal untuk persekutuan itu?!”
Andel mengangguk-angguk sambil melirik ke arah Miron.
“Ya ampun! Ternyata besar juga nyalinya. Kupikir dia akan lari seperti yang pernah dia lakukan dulu.”
Andel terdiam sejenak. Memandang tenang sebuah kapal pesiar sungai yang lewat di depan mereka. “Setiap orang bisa berubah, kan Miron? Bergerak dari satu titik pada titik yang lain,” jawabnya tak lepas mata menjangkau kapal itu.
“Tentu saja. Aku percaya dengan hal itu. Lantas, apa lagi rencanamu selanjutnya?”
Mendadak wajah Andel berubah serius karena pertanyaan itu. “Apa lagi kalau bukan membiarkannya terjadi.”