“Kumohon jangan lakukan apa pun, Arandra,” Soa turut bangkit berdiri.
“Tidak, Soa! Aku tidak akan membiarkanmu menjadi korban lagi! Kau harus bahagia di kehidupanmu yang sekarang!”
“Lalu bagaimana dengan adikku jika kau sampai mengacaukannya?!”
Arandra tertegun oleh pertanyaan Soa.
“Adikku masih kecil dan tidak tahu apa-apa! Dialah korban sesungguhnya dalam persoalan ini. Apa kau ingin menyarankan aku lari bersamanya?!
“Tidak bisa, Arandra! Aku tidak ingin membuat masa kecilnya penuh ketakutan. Aku sudah yakin menggantikannya, aku percaya ini semua sudah menjadi garis takdir yang harus aku lewati!”
Sorot mata Arandra masih terasa beku, ada pancaran sulit menerima yang Soa rasa darinya.
“Lakukan apa yang harus kau lakukan untuk adikmu,” tegas Arandra sesaat kemudian. “Maka aku akan melakukan apa yang harus kulakukan untukmu.”
“Tapi, Arandra.”
Arandra sama sekali enggan menggubris Soa. Dengan perasaannya yang tak menentu, ia pun lenyap dari pandangan gadis itu, meninggalkan belahan jiwanya yang terus memohon untuk tidak melakukan apa pun.
Mendesah Soa tak berdaya. Ia pun merasa linglung dengan apa yang terjadi barusan. Kata-kata Arandra menyiratkan banyak pesan, akan tetapi ia tak mampu menerjemahkan.
Merasa lelah dengan pikirannya sendiri, Soa kembali terduduk lemas sambil menanamkan kepalanya di atas meja. Otaknya merasa buntu, dugaan demi dugaan memenuhi ruang pikirnya sementara ia tak punya kesempatan untuk segera menemukan jawaban.
“Apa sebetulnya yang akan kau lakukan Arandra?” lirih gadis itu seorang diri.
‘KREKK’ terdengar suara pintu restoran dibuka.
“Arandra?!” Soa langsung mengangkat wajahnya.
“Arandra kau bilang? Siapa dia?” Zoe yang sempat mendengar ujaran Soa berbalik bingung bertanya-tanya.
Soa mendadak gelagapan. Baginya tidak mungkin kalau ia bercerita tentang Arandra, makhluk tak kasat mata.
“Oh, kau ternyata Zoe. Kukira salah satu karyawanku kembali.” Soa berusaha mengalihkan perhatian. “Kau di sini?”