Zoe telah tiba di depan rumah Soa. Sejenak ia menepikan mobilnya, lalu menoleh ke arah Soa untuk memastikan lagi keputusan gadis itu. “Kau yakin, tidak ingin menginap di rumah Dori?”
Akan tetapi Soa sama sekali tak menyimak pertanyaan Zoe. Matanya nanar menunjukkan pikirannya yang sedang melayang.
“Soa?!” Zoe menaikkan sedikit suaranya.
“Hah! Ya?” gadis itu terkesiap.
“Kita sudah sampai.”
Soa mengedarkan pandangannya. “Oh, ya. Terima kasih sudah mengantarku pulang, Zoe,” ujarnya tersadar sambil melepaskan tali sabuk pengaman.
Baru saja ingin membuka pintu, Zoe bertanya pada sahabatnya lagi. “Tunggu, Soa. Apa aku perlu mengantarmu sampai ke dalam?”
“Ah, tidak perlu Zoe. Jangan cemaskan aku, aku akan baik-baik saja.”
“Hem, baiklah kalau begitu.”
Soa keluar dari mobil Zoe, dan sekali lagi mengungkapkan kata perpisahan pada sahabat tambunnya itu lewat kaca mobil yang terbuka. “Bye, Zoe!” ucapnya untuk ke sekian kali.
Kembali Zoe menjalankan mobilnya. Kini tinggallah Soa sendiri, menikmati rasa berat dalam sembunyi untuk masuk ke rumahnya sendiri.
Sekuat tenaga gadis itu berpegang pada pasrah, sempat dilihatnya jam di pergelangan tangan kanannya. “Sudah jam sebelas, aku rasa ayah dan ibu sudah tidur,” begitu ia bergumam menerka. Lantas membuka pintu pagar, lalu mengeluarkan kunci rumah yang biasa ia bawa untuk membuka pintu diam-diam.
Setelah pintu rumah berhasil dibuka tanpa ada bising mengganggu. Soa lanjut berhati-hati melangkah menuju kamarnya. Ia tidak ingin langkah kaki itu sampai berbunyi dan membuat ayah ibunya terbangun. Bahkan kalau bisa, semut pun jangan sampai panik menyebar karena derap kakinya.
Akan tetapi, banyak hal yang terjadi memang selalu di luar harapan. Ayahnya ternyata keluar dari kamarnya dan tanpa sengaja berpapasan dengan Soa. Gadis itu langsung beku, tak tahu harus berkata apa.
Felix sama kakunya, ia masih terlihat kesal, raut mukanya masih jauh dari kelembutan.
Melihat sikap dingin seperti itu, Soa memilih menunggu sapaan ayahnya terlebih dahulu. Ia berpikir akan menjawab sopan apa pun yang ayahnya akan katakan. Ia memang tidak berani memulai, tetapi ia juga tidak akan bersikap cuek kepada ayahnya. Gadis itu masih memiliki rasa ingin menghormati meski amat sulit mengingat apa yang terjadi.
Sayangnya bukan Felix kalau tidak berwatak keras. Pria itu tanpa sepatah kata apa pun pada akhirnya kembali masuk ke kamar meninggalkan putrinya sendiri.
Soa merasa ditikam belati, perlakuan itu membuat dadanya terasa sesak. Didiamkan oleh orang yang dicintai ternyata bukan hal yang tampak sepele. Ini ternyata bisa sangat menusuk, dan memberi rasa pedih.
Air mata gadis itu mulai meluap, bibirnya bergetar, dan tarikan nafas lewat hidungnya mulai tersumbat. Ia segera berlari ke kamarnya, langsung menjatuhkan diri di atas tempat tidur dan menangis tersedu-sedu di balik bantal.
Untuk waktu yang cukup lama Soa terombang-ambing di dalam laut tangisnya. Hingga badannya terasa lelah, melemah dan kantuk pun mulai tak tertahankan. Perlahan matanya terpejam, tak peduli sepatu di kakinya masih menempel dan tas selempang belum ia lepas dari leher.