“Ha ... ha ... ha ...” tiba-tiba saja Soa tertawa begitu keras, membuat Gensi bertanya-tanya atas maksud dari sikap tak terduga adiknya. “Wajahmu!” tunjuknya mengarah pada Gensi. “Wajah ibamu muncul lagi, Gensi. Lagi-lagi kau menunjukkan kepedulianmu padaku. Apa kau sedang merasa tak tega? Mengaku saja kalau kau ingin menangis sambil memelukku.”
Gensi langsung membuang muka. “Harusnya aku memberitahumu cukup lewat telepon,” sesalnya jengkel.
“Itu karena kau ingin melihat langsung keadaanku,” ledek Soa semakin menjadi-jadi. Lalu matanya mengedip-ngedip menggoda. “Aku baik-baik saja, Kakak. Tapi kumohon jangan tinggalkan aku, aku sangat takut. Kumohon, kumohon ....” Dengan sengaja Soa membuat nada bicaranya merengek manja.
Gensi sungguh terkejut melihat kelakuan adiknya yang tak biasa. Rasanya ia ingin sekali tertawa di hadapan Soa, namun ia tak ingin wibawanya jatuh dan memilih menahannya untuk tetap berlaku serius. “Jangan bersikap menggelikan!” ketusnya menampik. Membuat tawa Soa kembali menggaung.
“Kau orang yang sangat kaku, Gensi.”
“Sudahlah! Aku kesini hanya untuk menyampaikan hal itu, jadi bersiap-siaplah lusa.”
“Kau belum menjawab untuk apa? Ke mana kau ingin mengajakku? Aku bukan orang yang gampangan di ajak pergi.”
Gensi menghela nafasnya. Di lihatnya Soa yang menunggunya dengan wajah cemberut. Ia tak tega mengatakan acara yang harus mereka datangi lusa malam, tetapi apa mau dikata, itu sudah menjadi perintah ayahnya. “Kita akan ke rumah Bibi Molly.”
Soa terperangah. “Dia?!”
“Ya. Bibi Molly mengundang kita sekeluarga untuk makan malam.”
“Aku tidak bisa!” tolak Soa tegas. “Lusa aku akan pergi ke Festival Sungai Arandra bersama teman-temanku.
“Aku tahu Festival Sungai Arandra diadakan besok.”
Soa langsung gelagapan. “Oh! Maksudku, lusa aku sudah berjanji dengan teman lamaku. Kami sudah sangat lama tidak bertemu.”
“Apa kau yakin?”
“Tentu.”
Gensi termenung. Ia tahu adiknya hanya mencoba mencari-cari alasan untuk menghindar. Ia pun jadi bingung dengan keadaan yang menimpa mereka. Soa yang semula merasa terganggu dan kesal dengan ajakan itu mendapati wajah Gensi yang terlihat memikirkan sesuatu. Batin Soa mendadak bimbang, dan rasa takut pun mulai menjajah. Ia ingat, ia telah berjanji tidak akan lari, dan menerima undangan itu adalah salah satu bukti bahwa ia memenuhi kesepakatan.
“Baiklah, akan aku sampaikan pada Ayah.” Sedikit pun tak ada paksaan dari Gensi, ia lantas beranjak meninggalkan Soa. Adiknya masih diam tenggelam dalam pikirannya menimbang-nimbang.
Akan tetapi belum sempat Gensi melewati pintu. “Gensi!” panggilan Soa menghentikan langkah kakaknya.
Menoleh Gensi ke arah adiknya. “Ada apa lagi?”
“Hem ..., baiklah. Lusa aku akan ikut denganmu,” ucap Soa menyerah.