“Kau tidak takut gemuk?” pertanyaan Joice seperti mampu terhubung dengan ucapan Arandra.
Soa menggeleng. “Anehnya seberapa banyak pun aku makan, badanku tetap kurus.”
“Oh ya?” Joice hampir tak percaya.
Arandra menyalip berkicau, “Bukan berarti kau bisa makan sosis itu sepuasnya. Kau harus memperhatikan nilai gizi dari apa yang kau makan. Kau tidak bisa asal sekedar kenyang atau memanjakan lidahmu dengan rasa yang enak-enak tapi nutrisinya kurang terpenuhi.”
Soa langsung menghentikan langkahnya. Menarik nafasnya dalam-dalam karena merasa selera makannya telah terganggu. Joice yang keheranan melihat tingkah Soa ikut-ikutan menghentikan jalannya. “Hei, Joice! Apa Zoe pernah mencampuri urusanmu?!” mengerut dahi Soa, bertanya dengan agak emosi.
“Kenapa memang?” Joice terheran-heran.
“Aku punya teman lelaki, tapi dia sangat repot dengan urusanku. Dia selalu saja cerewet terhadap apa yang aku lakukan. Bahkan ia bisa lebih cerewet dari ibuku. Belakangan ia mengkritik apa yang kusuka, bahkan sekarang ia melarangku makan sepuas yang aku mau.”
Arandra langsung bertolak pinggang, ia menangkap jelas ucapan Soa dengan wajah kesal. Tahu betul bahwa orang cerewet melebihi ibunya yang dimaksud Soa adalah dirinya sendiri.
“Teman? Kalian hanya teman?”
“Ya. Kami hanya sekedar teman.”
Joice sibuk berpikir dalam-dalam. Ia paham betul apa yang dirasakan Soa, dan ingin berhati-hati memberi jawaban agar hati teman barunya itu tidak semakin panas. “Hmm menurutku ... mungkin itu karena dia sangat mencintaimu.”
Soa dan Arandra sama-sama terbelalak.
“Ci–cinta kau bilang?” tak ingin gadis itu salah mendengar.
Joice membalas lagi dengan anggukan yakin. “Ya, cinta. Rasa yang istimewa. Rasa antara seorang pria dengan wanita. Aku merasa kalau dia sangat mengkhawatirkanmu.”
Soa tak habis pikir dengan jawaban Joice. Ia lirik Arandra yang malah menunduk tak ingin melihat wajahnya. “Cinta?” Soa bertanya-tanya sendiri. Pikirannya pun mendadak melayang jauh.
Hingga sesaat kemudian, “Ha ... ha ... ha ...” gadis itu malah terbahak-bahak.
“Kenapa dia?” batin Arandra merasa ada yang aneh.
Joice tak kalah terbengong-bengong. “Apa yang lucu?” tanyanya polos.
“Mana mungkin, Joice! Dia hanya mencintai mantan kekasihnya, aku tidak mungkin mencintai balik seseorang yang terpenjara oleh kenangan.”
Joice terlihat cukup kaget oleh jawaban Soa, ia pun tak berani membalas apa-apa. Bertanya lebih detail saja enggan ia lakukan, mulutnya terkatup tak berkutik menikmati tawa Soa. Raut mukanya sejenak kemudian berubah merasa kasihan.
Sementara Arandra, wajah sewotnya berpaling pada kemurungan. Hantu itu menyadari keterbatasannya, kata-kata yang dianggap sebagai lelucon oleh Soa tak bisa ditampik telah menyayat hatinya. Sayang, Soa si gadis idaman sama sekali tak melihat kesedihan yang memancar dari diri si hantu tampan.
Di tengah tawa Soa yang masih merajai, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang memanggilnya dari kejauhan.