Langkah Soa mendadak terhenti. “Kau bi–bisa melihatnya?!” tanyanya terbata-bata. Belum bisa percaya mendengar Joice mengatakan sesuatu yang tidak pernah ia terka. Rasanya Soa jadi sulit menelan sosis dimulutnya sendiri.
Joice pun tertawa lepas. “Maaf mengejutkanmu.”
“Jadi kau betul-betul bisa melihatnya dengan jelas?!” Soa sungguh takjub.
“Begitulah.”
Tiba-tiba Soa teringat sesuatu. “Oooo, aku tahu sekarang! Kau teman Zoe yang indigo itu, bukan?!”
Joice merespons agak ragu. “Ya..., aku rasa akulah yang Zoe maksud.”
“Wah! Kau sudah membuatku tak merasa gila.”
“Begitukah?” Joice tersenyum lebar.
“Ya. Aku bisa saja membuat orang salah paham terhadapku gara-gara teman hantuku itu.”
“Aku sangat mengerti. Itu wajar, mereka hanya ingin mempercayai apa yang bisa mereka lihat.”
Soa mengangguk sepakat. “Harusnya kau berkenalan juga dengannya."
“Perlukah? Sementara hanya ada kau di matanya.”
“Mungkin karena dia tidak tahu kau bisa melihatnya.”
Joice tertawa lagi. “Kau sangat sulit diberi kode, Soa. Sepertinya dia akan selalu kesal.
Mata Soa berkejap bingung. “Maksudmu, Joice?”
“Apa kau sungguh-sungguh tidak bisa membaca kalau dia mencintaimu?”
“Betulkah?” mata Soa terbuka lebar. Jantungnya serasa melompat mendengar hal itu.
“Ya. Aku bisa melihatnya.”
Pikiran Soa jauh melayang, senyumnya melengkung lebar bagai mawar yang baru saja merekah di pagi hari. Namun anehnya mata yang berbinar itu hanya memancar sesaat. Antusiasnya seketika berubah menjadi tak bergairah.
“Hem, andai saja kami tidak terjebak masa lalu. Pasti akan menyenangkan sekali jika dicintainya.”
“Ya ampun! Jadi kau sebetulnya juga cinta padanya.”
“Eh, tidak-tidak! Maksudku..., sedikit.”
“Hah, sedikit?” Joice tersenyum tak menduga.