Gensi langsung kesulitan menelan ludahnya. Hanya tawa hambar yang ia tampilkan agar terkesan santai di mata Soa dan kata-kata itu tak berpengaruh sama sekali untuk dirinya. Walaupun di dalam hati sebetulnya Gensi ingin sekali meledak mencak-mencak.
“Masuklah!” perintah Gensi kala tawa itu habis bergaung. “Aku tidak ingin membuang waktu untuk membalas komentarmu.”
Soa mendesah tak dapat mengelak untuk turut menikmati kekayaan Gensi. Dengan rasa terpaksa ia pun berniat memasuki mobil itu, namun hampir saja ia ingin masuk menyusul duduk di samping Ken, tiba-tiba Gensi menutup pintu mobilnya. Soa yang kaget bercampur bingung langsung melotot. Ia tangkap wajah kakaknya yang tampak tidak merasa bersalah.
“Ops! Aku hanya ingin membukakan pintu untuk Ken,” balas Gensi menyepelekan. Kemudian ia masuk lebih dulu untuk duduk di depan bersama Edzard.
Meskipun pembalasan Gensi memanasi hati, akan tetapi Soa tetap menahan diri dan tak ingin menggubrisnya lagi.
Dalam perjalanan, Soa memilih tak bicara sepatah kata pun. Ia terlihat lebih asyik menjelajahi lamunannya. Mimpi buruknya sungguh sangat mengganggu pikiran. Hatinya terus saja bertanya-tanya kenapa Sancho harus mengatakan hal seperti itu.
Berbeda kondisi dengan Ken. Bocah itu selalu terdengar mengomentari apa yang menurutnya menarik. Gensi dan Edzard sampai lelah menjawab banyaknya pertanyaan anak itu, rasa keingintahuan Ken sangat besar.
Selang beberapa waktu. Mereka melewati sedikit kemacetan di pusat kota Melvin, tanpa sengaja Edzard melihat papan LED publik yang terpasang di satu gedung. Matanya terbuka lebar begitu ia tahu pemberitaan apa yang sedang di putar di sana.
“Bu-bukankah itu Tuan Kalevi?!” ungkapan Edzard langsung menarik perhatian Gensi yang di sebelahnya.
“Apa kau bilang?”
“Lihatlah berita itu,” ucap Edzard sambil menunjuk ke layar LED publik yang dilihatnya. Soa yang semula sibuk melamun juga sempat tersedot oleh keterkejutan pria itu. “Wah, dia berhasil mendapat penghargaan menjadi pengusaha terbaik di Denzel.”
Gensi yang begitu serius menontonnya ikutan menyahut. “Ya. Dia mendapatkannya lagi.”
Sementara Soa yang tak memiliki kata untuk bisa ikut menimbrung bersama mereka hanya sekedar diam dan mendengarkan saja. Sempat ia berkomentar dalam hati, kala matanya menangkap hal yang sama di layar LED raksasa. “Jadi Tuan itu sangat terpandang di Denzel.”
Kemacetan itu mulai melonggar. Edzard segera menginjakkan pedal gas mobilnya perlahan-lahan. Seiring dengan jalannya mobil, pria itu juga mengungkapkan isi pikirannya. “Pertama kali aku berjumpa dengannya, aku betul-betul kaget. Seorang pengusaha terkenal mau menanamkan modal pada restoran kecil kita. Bahkan aku hampir tak percaya, kalau dia adalah teman lama Ayah, karena nasib mereka sangat berbeda jauh, seperti bumi dan langit.”
Soa semakin terhanyut oleh omongan kakak iparnya.
“Jangankan dirimu, aku pun juga berpikir begitu,” timpal Gensi. “Awalnya menurutku Ayah seperti menemukan gunung emas saat berjumpa dengannya. Sampai aku tahu yang sebenarnya, kalau dia bukan saja teman lama Ayah, tapi juga adik Bibi Molly. Bertambah terkejutlah aku.”
Soa langsung terperanjat. “A–apa kau bilang?” gadis itu akhirnya bersuara.
Gensi langsung menoleh ke belakang, sementara Edzard melirik hanya lewat spion tengah.
“Kenapa?” tanya Gensi.
“Tadi kau bilang apa?! Tuan Kalevi adalah adik Bibi Molly?!”