“Lihatlah. Teddy Kors berhasil mengubahnya menjadi seorang putri.”
Soa merasa tak nyaman dengan perkataan Molly. Batinnya penuh tanya, untuk apa Molly memujinya di depan pria itu.
“Oh, Teddy Kors. Itu bagus,” Kalevi hanya menjawab singkat bersikap acuh tak acuh.
“Nah, kalau begitu bagaimana jika sebaiknya kita mulai acaranya sekarang?” saran Molly melanjutkan.
Daiva berpikir itu ide yang bagus. Ia yang berdiri di samping Kalevi kemudian berbisik-bisik kepada adik iparnya itu. Tidak bisa didengar sama sekali oleh orang di sekitar mereka, Kalevi hanya memberi anggukan menyiratkan arti persetujuan untuk melakukan sesuatu.
Setelahnya Daiva pamit sejenak meninggalkan pembicaraan dengan istrinya dan keluarga Mannaf. Disusul oleh Kalevi yang berjalan di belakangnya, mereka berdua lantas naik ke atas panggung. Alunan musik pun turut terhenti. Daiva mengambil mikrofon yang diberikan seorang ajudannya lalu memulai lebih dulu untuk meminta perhatian para undangan.
“Selamat malam, semuanya.” Mendengar suara khas itu, para tamu langsung tertib meninggalkan percakapan pribadi mereka, dan semua mata hanya tertuju kepada Daiva.
Sama halnya dengan Soa, ia berdiri di apit oleh Molly dan ibunya untuk mendengar Daiva bicara. Berbeda dengan si kecil Ken, ia malah terlihat memasang muka bingung mempertanyakan apa yang diamatinya. “Kenapa hanya Paman itu dan Soa yang berbeda?” Tak ada yang mendengar bocah itu berkata, seketika Gensi menarik tangan Ken agar berdiri tepat di depan ia dan suaminya.
“Aku tidak ingin acara ini berjalan hingga larut malam,” mula Daiva. Ia sempat melirik kepada Kalevi. “Adik iparku sudah tua, jadi dia sudah tidak bisa tidur terlambat.” Perkataannya langsung membuat seisi ruangan tertawa. Kalevi tahu betul dengan khas canda kakaknya, ia hanya senyum-senyum tak bisa membalas apa-apa.
Terbesit sesuatu di benak Soa, situasi yang menghampirinya sangat mirip seperti apa yang dilihatnya dalam mimpi. Saat di mana Sancho naik ke atas panggung bersama kelakarnya, ditemani tamu yang ramai, dan seorang wanita yang malang. Akan tetapi buru-buru Soa tepis pikiran itu, baginya itu hanyalah bayangan mengerikan. Ia tidak ingin hanyut oleh pikiran liar.
“Aku dan istriku mengucapkan terima kasih, karena kalian sudah mau hadir memenuhi undangan kami,” Daiva melanjutkan. “Sungguh, malam ini adalah malam yang sangat istimewa, karena adik kami Kalevi. Ya, tentu kalian sudah mengenalnya, dia pria lajang yang cukup terkenal.” Para tamu lagi-lagi terpancing oleh candanya. “Kalevi akan bertunangan dengan seorang gadis yang merupakan anak dari rekan bisnis kami. Aku berharap, hubungan mereka akan berjalan dengan sangat baik, hingga mereka sampai pada pernikahan yang diimpikan.
Soa menyimak perkataan Daiva dengan penuh saksama, tergoda ia mencari-cari dengan matanya untuk menemukan di mana tunangan Kalevi dan keluarganya berdiri. Semua terlihat samar dengan pengunjung yang datang, dan disaat itulah Soa tersadar bahwa semua tamu mengenakan pakaian senada, yang pria serba hitam sementara yang wanita serba putih. Termasuk keluarganya, Paman Daiva, juga Molly. Kontras sekali dengan dirinya dan Kalevi. Perasan Soa mendadak riuh.
“Tidak mungkin jika aku tidak memintanya naik ke atas panggung agar kalian bisa mengenalnya. Seorang gadis yang akan menjadi bagian dari keluarga Jorell, dialah gadis cantik calon istri adik iparku.” Seketika mata Daiva begitu tegas melihat ke Soa yang berdiri tak jauh di depannya. Mendapati sorot yang tak diinginkan membuat nafas Soa langsung tertahan, ia merasa sebuah petir sedang bersiap menyambarnya. Lalu tanpa ragu Daiva melanjutkan, “Nona Soa Manaf. Calon menantu di keluarga Jorell selanjutnya.”