Tiga hari kemudian.
Siang itu Soa asyik menikmati waktunya di kamar. Ia terlihat memainkan game di handphone-nya secara online. Sudah tiga hari ini sikapnya seperti orang yang masa bodoh. Ia tak peduli pada tanggung jawabnya di restoran, tak banyak berkomunikasi dengan siapa pun, bahkan sama sekali tak berniat keluar rumah walau untuk sekedar berjalan-jalan. Waktunya lebih banyak habis untuk melamun, bermain game online, dan tidur.
TOK TOK TOK
“Hei, Soa...! apa kau sudah mati?!” terdengar teriakan Gensi dari luar kamar Soa, setelah pintu kamar gadis itu Gensi ketuk cukup kencang.
“Ayah dan ibu akan mengabarimu kalau aku sudah mati!” teriak Soa membalas. “Kau sudah kaya, siapkan uang amal kematian yang besar untukku! Aku mau batu nisanku berlapis emas!”
“Tidak lucu!”
“Aku tidak tertarik melawak!”
“Buka pintunya!”
“Tidak dikunci!”
Gensi membuka gagang pintu dan buru-buru masuk ke kamar Soa.
“Apa?!” tanya Soa.
“Wah!” Gensi bertolak pinggang sambil mengamati Soa. “Wajahmu yang pas-pasan terlihat kuyu. Kau betul-betul terlihat sedang punya masalah, Soa.”
Soa decak jengkel. “Apa perlumu?” tanyanya singkat.
“Aku menerima laporan bahwa restoran pertama kita mengalami penurunan penjualan. Kau ceklah ke sana, pastikan kinerja karyawan sesuai standar operasional kerja.”
“Kau saja.”
“Aku masih banyak pekerjaan.”
“Lalu kenapa kau sempat kesini?”
“Karena aku tidak betah melihatmu menganggur.”
“Aku tidak menganggur!” Soa langsung turun dari tempat tidurnya disusul ikut bertolak pinggang.
“Jangan mengelak! Ibu lebih teliti dari yang kau kira.”
“Hooo! Jadi ibu mengadu padamu?!”
“Ya. Dia bilang anak gadisnya mengurung diri di kamar seperti orang yang habis ditinggal menikah.”
“Di kamar aku bekerja!”
“Apa pekerjaanmu?” Gensi melirik ke handphone Soa yang tergeletak di atas tempat tidur. Layar yang masih menyala menunjukkan dengan jelas kalau gadis itu sedang menjeda game-nya. “Kau hanya sedang bermain.”
“Tapi tetap saja aku tidak berdiam diri! Aku bergerak! Bergerak itu melakukan aktivitas, melakukan aktivitas itu ya bekerja!”
“Dan bekerja buatku adalah menghasilkan uang!”
“Dasar mata duitan!”
“Yeah!” Gensi dengan angkuh mengibaskan rambut panjangnya. “Di kehidupan pertamaku, aku adalah seorang wanita anggun, pekerja keras, dan kaya raya. Jadi jangan heran jika sekarang aku terlihat tegas dan keren.”
“Hih! Dari mana kau tahu kehidupan pertamamu sekeren itu?!”