“Ya – karena pernikahanmu di luar dari perjanjian itu. Kau sudah berjanji untuk mengorbankan diri. Lantas buat apa dia mengikatmu dengan pernikahan lagi.”
Soa melepas sumpitnya, lalu menopang dagu seraya berpikir keras.
“Ada apa?” tanya Arandra.
“Apa dia sedang dendam padaku?”
“Kurasa begitu.”
“Kira-kira apa lagi yang akan dia lakukan?”
Arandra ikut-ikutan melepas sumpitnya. Lalu kedua tangannya bersilang di atas meja.
“Entah dendam apa yang sedang merasukinya. Tetapi aku merasa hidupmu mulai mirip dengan korban-korban yang pernah ada.
Mata Soa terbuka lebar. “Apa? Apa kesamaan yang kami punya?”
Wajah Arandra berubah semakin serius. “Kau – diangkat setinggi-tingginya oleh wanita itu.”
Soa terpukul oleh kenyataan yang Arandra bawa.
“Lihatlah sekarang. Disaat kau menggunakan gaun yang indah. Kau berubah menjadi gadis di atas rata-rata. Kau cantik, muda, kaya, tunangan pengusaha tampan. Semua orang memujimu dan merasa iri padamu. Inilah saat di mana kau bisa tertipu dengan perasaanmu sendiri, bahwa itu hanyalah ilusi yang orang lain mainkan.”
“Huh! Dasar nenek tua! Kurasa dia salah menilaiku. Aku bahkan tidak nyaman diperlakukan begini.”
“Benarkah? Atau ini karena belum menyentuh apa yang kau inginkan?”
“Maksudmu?”
Namun Arandra sama sekali tak menjawab pertanyaan Soa. Ia hanya tersenyum, lantas mengajak Soa untuk menghabiskan makanan mereka. Lalu setelahnya, ia berjanji akan melakukan seperti yang pria lain lakukan. Yaitu – mengantar Soa pulang.
Selang satu setengah jam kemudian.
Arandra terlihat berjalan mendampingi Soa memasuki kompleks rumah gadis itu. Perasaannya begitu senang, bisa mengantar gadis itu pulang. Soa bahkan sempat menggodanya agar setiap hari saja Arandra melakukan ini untuknya.
“Tentu, jika kau mau,” balas Arandra penuh percaya diri yang kemudian diikuti oleh gelak tawa Soa.
Tak lama kemudian mereka tiba di depan rumah Soa.
“Terima kasih,” ucap Soa.
Arandra menarik nafasnya dalam-dalam, lalu sesaat kemudian ia melukiskan senyumnya dengan anggukan yang lembut.