Malam telah tiba, Kalevi sudah mengantar Soa pulang tepat di depan rumahnya. Sempat Soa menawarkan untuk masuk ke dalam, ia pikir barangkali Kalevi ingin bertegur sapa sebentar kepada orangtuanya sebelum dua hari lagi mereka menikah. Akan tetapi Kalevi menolak itu semua, ia lebih memilih untuk langsung kembali pulang ke rumah.
“Maaf. Jika kau harus melihat calon suamimu ini dingin terhadap calon mertuanya. Tetapi aku memang tidak bisa berpura-pura, bahwa aku tidak menyukai calon mertuaku,” Kalevi blak-blakan mengatakan alasannya dari dalam mobil. “Jadi untuk sekarang dan ke depannya, berdamailah dengan keadaan bahwa sulit buat kami bersikap selayaknya mertua dan menantu.”
Soa yang sudah keluar dari mobil dan berdiri di samping Kalevi hanya bisa mengangguk dan mengerti. Ia membebaskan pria itu, karena nyatanya ia memang tak punya alasan untuk membuat Kalevi menyukai ayahnya. Jangankan Kalevi, ia yang putri kandungnya saja sudah tidak memiliki hubungan akur dengan Felix.
Kalevi langsung tancap gas meninggalkan Soa. Gadis itu tertegun, berdiri menatapi mobil yang menjauh dan hilang dari pandangan di sebuah tikungan.
“Dua hari lagi aku akan menikah. Rasanya betul-betul aneh! Aku tak merasa diriku calon mempelai wanita,” ujar Soa seorang diri.
Tiba-tiba saja Soa jadi teringat Arandra. Ia lalu melihat ke arah jam tangannya. Waktu menunjukkan tepat pukul setengah sembilan malam. Belum terlalu larut buatnya untuk menemui Arandra di taman. Bergerak kembali langkahnya untuk pergi. Namun baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba saja ia menemukan seorang pria berdiri di kejauhan seraya tersenyum kepadanya.
“Arandra?” senyuman Soa merekah bagaikan mawar. Langsung saja ia berlari memastikan penglihatannya, dan benar saja, pria itu adalah Arandra.
Soa hampir tak percaya, baru saja ia memikirkan Arandra ternyata pria itu sudah ada di dekatnya lagi. Soa senang melihat jiwa hantu tampan itu tak terkunci lagi di sungai Arandra dan bebas pergi ke mana pun ia mau tanpa perlu tubuh orang lain untuk ditumpangi.
“Kau mau pergi lagi?” tanya Arandra lembut.
“Ya, aku hampir pergi untuk menemuimu di taman.”
“Untuk apa? Kau sangat merindukanku?” goda Arandra lalu tertawa setelahnya.
Namun Soa menganggap itu bukanlah sebuah lelucon, ia betul-betul serius menjawabnya. “Sangat.”
Dan tawa Arandra pun perlahan-lahan terhenti. Namun Arandra curiga, raut muka Soa berubah, ekspresinya sendu memancar jelas menemani sorot matanya yang berkaca-kaca.
“Dua hari lagi aku akan menikah,” lirih Soa. “Dan aku tidak punya cara untuk membatalkannya.”
Tatapan Arandra begitu lembut. Rasa iba memuncak di hatinya. Garis nasib orang yang ia cintai masih sama, menikahi orang yang tidak dicintai karena sebuah kepentingan dari mereka yang tamak.
“Kau ingin berubah pikiran untuk lari?” tanya balik Arandra.
Soa menggeleng lemah. “Jika itu pilihannya aku tak mau.”