“Apa katamu?!” amarah Gensi menyulut. Ia tak suka dengan kalimat suaminya barusan.
“Jangan munafik, Sayang. Jangan tutup matamu dan berpura-pura tidak tahu – kita sudah ikut-ikutan menikmati apa yang Ayah lakukan.”
Gensi tersentak. Sulit untuknya menampik penegasan Edzard. Bibirnya seakan dirantai begitu kuat. Perasaan telah menjadi kakak yang jahat menyala lagi tiba-tiba seperti alarm darurat.
“Kita sudah terkena percikan airnya,” lanjut Edzard. Tampak jelas ambisi yang memancar dari bola matanya. “Kenapa tidak sekalian saja kita menyelam bersama Ayah.”
Gensi membuang muka. Degup jantungnya mendadak tak beraturan dan rasa ketakutan merasuk begitu cepat.
“Jangan ragu lagi, Sayang. Semua akan baik-baik saja. Kita akan menjadi pasangan pengusaha yang hebat – lebih dari yang pernah kita bayangkan.”
***
Soa sudah duduk di kursi taman. Seperti jam sibuk sebelumnya, taman masih terlihat sepi. Namun untuk berjaga-jaga dari kamera tangan-tangan jahil, kali ini Soa memilih untuk menggunakan masker di wajahnya.
Sudah hampir satu jam Soa menunggu sambil menjelajah media sosialnya, tetapi Arandra sama sekali tidak menampakkan diri. Soa jadi bertanya-tanya, kenapa Arandra harus membuatnya menunggu lama lagi. Biasanya hantu itu selalu bisa merasakan keinginan di hatinya untuk bertemu. Terlebih ia sudah mendatangi taman dekat sungai, tempat di mana Arandra dulu pernah terkunci.
Sudah pasti, kalau lama menunggu begini kecemasan Soa jadi timbul. “Apa Arandra sengaja tidak ingin menemuiku?” ujarnya dalam hati. “Terakhir aku bertemu dengannya, tidak ada masalah, kan?” ia mencoba mengingat-ingat, apakah ada dari ucapannya yang salah saat mereka terakhir bersama. “Atau dia sedang terkena masalah?
Sibuk pikiran Soa menerka-nerka. Dan selalu saja yang terlintas adalah pikiran buruk. “Tidak Soa, tidak! Dia hanya sedang sibuk. Kau baru menunggunya satu jam. Tunggulah lagi sebentar.” Lagi-lagi ia mewanti-wanti dirinya sendiri.
Dan seketika telepon genggamnya berdering. Ada nama Gensi di sana, agak berat sebetulnya Soa menjawab. Namun mau bagaimana lagi, ia merasa tak mungkin mematikan panggilannya karena itu hanya akan menambah masalah.
“Apa?” hanya itu sapaan yang terdengar malas dari bibir Soa.
“Kau di mana?”
“Taman dekat restoran.”
“Hah! Kau di sana?!”
“Kenapa memang?”
“Ada apa sih di sana?! Kau selalu saja datang ke tempat itu. Aku tidak yakin kau hanya sedang rehat sebentar setelah mengawasi restoran pertama. Aku tahu belakangan kau semakin malas bekerja!”
“Bukan urusanmu bawel!”
“Jangan macam-macam, Soa! Kau akan menikah besok. Jangan buat kehebohan lagi di media!”
“Aku mengerti! Langsung saja, untuk apa kau meneleponku?!”