Untuk sementara waktu Soa menyerah. Ia akhirnya pergi meninggalkan taman dan mengurus urusannya dengan restoran. Daniel yang setia menunggu, mengantarnya menuju kantor. Sepanjang perjalanan Soa terus saja bertanya-tanya, apa yang membuat Arandra sama sekali tidak menampakkan diri.
Setibanya Soa di kantor ia langsung disibukkan dengan beberapa dokumen yang menyangkut tentang restoran. Begitu banyak hal yang tertulis di sana, sehingga mengharuskan gadis itu memakan waktu cukup lama untuk memeriksanya. Sekalinya ia terjeda, waktunya ia pergunakan hanya untuk makan siang atau mengunyah sedikit kudapan.
Hingga matahari hampir terlelap. Gadis itu baru bisa menyelesaikan pekerjaannya. Punggungnya yang pegal rasanya sudah mendorong-dorong kuat untuk segera terjatuh di atas ranjang. Akan tetapi Soa masih harus bersabar, ia membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk merebahkan dirinya. Karena ia sudah berniat, untuk kembali ke taman dan menunggu Arandra lagi sebelum ia pulang ke rumah.
Daniel tak kalah bingung. Ia berpikir untuk apa majikannya kembali ke taman? Malam sudah tiba, apa nona itu tidak merasa lelah? Tapi ia tidak berani menanyakannya. Buatnya, bagiannya hanyalah sebuah kepatuhan, bukan keingintahuan terhadap alasan untuk apa perintah itu diberikan.
Soa lagi-lagi terduduk di kursi taman. Pikirannya sudah kalut saat jam tangannya seolah berbicara langsung, bahwa ia sudah menghabiskan 45 menit duduk sendirian.
Soa lelah – sungguh-sungguh lelah. Ia juga kesal, kenapa Arandra membiarkannya seperti ini.
Gadis itu tertunduk lemah. Tidak tahu harus bagaimana. Besok adalah hari pernikahannya, ia tiba-tiba merasa takut kalau-kalau Arandra besok juga tak datang. Kalau sampai hal itu terjadi, suasana tenang di hatinya pasti akan rusak dan rasa kesepian pasti menerkam lagi.
“Mau sampai kapan kau di sini?”
Soa menaikkan wajahnya. Suara lembut itu lagi – ia langsung menoleh ke sisi kanan.
“Kau sendiri untuk apa di sini? Aku tidak sedang menunggumu,” tanya Soa balik terkesan tak bersahabat.
Andel perlahan melangkah mendekatinya. “Lagi-lagi kau terlihat sangat terkejut. Kau tak merasakan akan kedatanganku?”
“Sejak terakhir kita bertemu kau selalu terheran-heran soal itu. Kenapa sih memangnya?!” balas Soa uring-uringan.
Andel menatap Soa dalam-dalam. Ia tak habis pikir dengan ucapan gadis itu. “Bahkan kau sudah melupakannya, Soa.”
“Ya ampun! Apa lagi maksudmu. Jangan buat aku berpikir keras, Andel. Aku sudah sangat lelah. Besok aku akan menikah, dan setelahnya aku akan menjalani hidup sebagai anggota keluarga Jorell. Ini kan yang kau inginkan?! Aku sudah menjalaninya sesuai karma yang selalu kau dengungkan di telingaku!”
Sekejap Andel dibuatnya terperangah. “Jadi kau hanya menjalaninya tetapi kau sama sekali tidak menyadarinya, tentang apa kekeliruan hidupmu yang dulu.”
“Apa salahnya?!” Soa bangkit berdiri. Emosinya mulai teraduk. “Yang aku tahu dulu aku adalah monster. Itu sudah cukup!”
“Kau tidak memiliki ketulusan, Soa.”
Tersungging senyum sinis dari bibir gadis itu. “Jadi setelah kau memaksaku menebus karma, sekarang kau memaksaku untuk memiliki ketulusan?! Apa lagi setelah ini yang kau inginkan?!” ujarnya dengan suara mulai meninggi. “Oh! Aku harus menjadi kaki tanganmu menghancurkan Halvor?! Begitu?!