“Apa rasanya sama, Tuan?” Ucapan Soa menarik perhatian Kalevi. Dan disaat yang tepat pula mobil mereka harus berhenti sejenak karena lampu merah. Setelah Kalevi menginjak remnya ia langsung menoleh ke arah Soa.
“Maksudmu?” tanya Kalevi terheran-heran.
Soa membalas lembut tatapan pria itu. “Bukankah, kita bisa berteman pada seseorang karena kita memiliki persamaan sekaligus perbedaan yang dapat saling melengkapi?”
Dahi Kalevi seketika mengerut.
Kembali gadis itu menatap lurus ke depan. Bibirnya tersenyum tipis seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. “Aku tidak pernah merasa membeli mereka untuk masuk ke dalam kehidupanku,” lanjutnya. “Mereka hadir, mengajakku berkenalan, lalu... seiring berjalannya waktu ada sebuah rasa yang bisa membuat kami tertawa dan menangis bersama.
“Rasa yang membuat kami senang duduk dalam satu meja, menikmati matahari sambil membicarakan apa pun yang kami inginkan. Dan sering kebersamaan itu membuat kami lupa – bahwa sebentar lagi sang surya akan terbenam.
“Rasa yang mendorong kami untuk mengulurkan tangan. Menyemangati jika salah satunya terjatuh. Rasa yang mendorong kami untuk saling memberi kebebasan, ingin seperti apa kami tumbuh.”
Kalevi mengarungi pikirannya sendiri. Perkataan Soa menjadi hal yang baru pertama kali di dengarnya. Makna seperti itu tidak pernah ia rasakan sampai di usianya sekarang. Teman? Sahabat? Atau apa pun orang menyebutnya.
Soa kembali memberikan pandangan kepada Kalevi. “Apa rasa teman yang dapat dibeli juga seperti itu, Tuan?”
Kalevi terenyak oleh pertanyaan itu. Ia jadi ragu untuk mengiyakan. Orang-orang yang sekedar ia kenal dan berputar di sekitarnya selalu sesumbar mengatakan bahwa mereka berteman dengan Kalevi, seorang bangsawan dari keluarga Jorell. Mereka mengaku-ngaku dekat dan akrab. Akan tetapi untuk rasa dibaliknya, Kalevi tidak pernah merasakan seperti yang Soa sudah rasakan.
Pertemuan mereka hanyalah untuk pesta atau sekedar membicarakan bagaimana menghasilkan uang lebih banyak. Membicarakan lahan mana yang akan dikuasai selanjutnya, dan membicarakan orang-orang yang mereka anggap miskin bodoh yang terlindas akibat kelemahan diri mereka sendiri dalam menghadapi kekuasaan orang-orang berjaya.
Kalau salah satu di antara mereka terjatuh. Tak ada kepedulian sesungguhnya. Paling-paling hanya menjadi lelucon yang memancing tawa karena dianggap bodoh dalam mengambil keputusan.
Lingkar pertemanan itu begitu sulit. Tidak boleh ada kelemahan yang ditunjukkan, yang ada hanyalah kekuatan dan kekuatan. Tidak boleh ada perasaan, karena itu hanya akan merobohkan istana.
Tiba-tiba saja menyusup rasa miskin di hati Kalevi terhadap kehadiran mereka. Dan di titik itulah Kalevi tersadar, bahwa ia tidak pernah sungguh-sungguh memiliki teman atau sahabat. Pria itu kesepian, dan hanya terlihat seolah-olah memiliki banyak teman. Sungguh ilusi yang menyedihkan.
Sekilas kenangan itu menghilang.
Kesadaran Kalevi bangkit untuk meninggalkan lamunan masa lalu. Dorongan di hati Kalevi menjadi semakin kuat. Ingin ia menemani gadis itu di dalam kesedihannya, menjadi teman yang dapat menghilangkan sesak di dada. Dan berpikir, mungkinkah Soa bisa menjadi teman pertamanya?