Petaka Grazian

Yulian Juli
Chapter #132

Rindu | 132

Kalevi lantas keluar dari ruang kerjanya tepat pukul 12 malam. Ingatannya terhadap keadaan Soa menyentakkannya untuk bangkit memeriksa wanita itu di kamar. Ia baru ingat kalau Soa sempat terlihat tidak baik tadi. 

Pelan-pelan Kalevi membuka pintu kamar, lalu melangkah masuk mencari-cari di mana Soa berada. Setelah ia melewati sedikit koridor kamar dilihatnya Soa yang terbaring di atas tempat tidur dengan setengah kaki yang masih menapaki lantai. Ia bahkan melihat istrinya masih memakai gaun yang sama.

Kalevi geleng-geleng kepala melihat kelakuan Soa. Bagaimana bisa Soa tidur nyenyak dengan kondisi begitu?

Pelan-pelan Pria itu pun berinisiatif membantu Soa dengan memperbaiki posisi tidurnya. Akan tetapi belum sempat Kalevi mengangkat tubuh Soa, ia dibuat keheranan sendiri. Kenapa Soa terlihat sangat berkeringat? Suhu AC di kamar tidak memancing kulit untuk kegerahan.

Dengan sentuhan punggung pergelangan tangannya yang lembut Kalevi mengusap dahi Soa. Dan disaat itu juga ada rintihan yang ia dengar dari bibir istrinya. Samar namun tampak jelas dari kerut di dahi Soa bahwa ia sedang bermimpi tak bagus.

“Jangan.

“Tolong.”

Dua kata itu mulai tertangkap di telinga Kalevi.

Kalevi tidak ingin Soa larut di dalam mimpi buruknya. Segera ia membangunkan Soa. Berkali-kali ia memanggil nama itu, namun Soa sudah memasuki alam bawah sadarnya terlalu dalam. 

“Soa – bangun Soa!” bahkan Kalevi sampai mengguncang-guncang tubuhnya. Tetap saja Soa tak membuka mata dan terus merintih meminta pertolongan.

Sampai akhirnya Kalevi mendudukkan tubuh Soa dengan tangannya yang kuat. Ia guncang lagi tubuh Soa lebih keras.

“Bangunlah, Soa!!!” panggilnya tinggi.

Sekejap Soa membuka matanya. Tanpa berpikir lagi ia langsung mendekap tubuh Kalevi. Jantungnya berdetak masih cepat dan air matanya seketika tak terbendung.

“Aku takut! Aku takut!” isak Soa dengan wajahnya yang pucat.

Kalevi mengalahkan keraguannya untuk memeluk Soa. Ia tak tega melihat wanita itu membutuhkan perlindungan dalam dekapannya. Ia balas pelukan itu, lantas berkata dengan lembut,

“Tenanglah. Ada aku di sini.”

Masih berputar di benak Soa apa yang dialami di dalam mimpinya barusan. Teringat dengan jelas ekspresi amarah Arandra yang terus saja berkata ingin membunuhnya. Bahkan ia tak segan mencekik lehernya.

Lagi-lagi tangis Soa pecah. Ia takut mimpi itu akan sungguh-sungguh nyata terjadi di dalam kehidupannya. Semakin kuat ketakutannya, semakin kuat pula ia memeluk Kalevi.

Ingin rasanya Kalevi bertanya apa yang Soa mimpikan selama ini. Ini sudah kesekian kalinya ia menemukan Soa tak nyaman dengan lelapnya. Tetapi ia sadar ini bukan saat yang tepat untuknya bertanya, karena yang dibutuhkan Soa saat ini hanyalah dekapan dari arti perlindungan. Kalevi mengusap lembut rambut Soa, bahkan sesekali menepuk halus punggung wanita itu untuk menenangkannya.

“Tuan Besar. Jika mimpi itu bunga tidur, kenapa aku selalu bermimpi hal yang sama?” seperti seorang bocah, Soa tersedu-sedu dalam pelukan Kalevi.

“Kau bermimpi hal yang sama?” Kalevi bertanya balik terheran-heran.

Lihat selengkapnya