Soa bersandar di sisi meja Kalevi dengan santai. Tanpa rasa enggan sedikit pun seperti jauh sebelumnya ia telusuri setiap keindahan di wajah pria itu.
Kalevi yang fokus dengan email yang diterimanya tiba-tiba merasa ganjil karena suasana ruang terasa senyap. Ia lantas menoleh hendak mencari Soa dengan matanya.
“WAA!!!” begitu terkejutnya Kalevi saat tahu Soa sedang mengamatinya. “KENAPA MEMANDANGKU BEGITU?!” teriak Kalevi.
Soa membuang muka seraya menghela nafas panjang mendapat respons dari Kalevi.
“Kau boleh terpesona padaku tapi jangan mengagetkanku!” lanjut Kalevi.
“Apa kau tidak bisa membedakan mana muka terpesona dengan muka iba?” Soa tak segan menghantam balik.
Kalevi menyandarkan kepalanya pada tangannya yang bertumpu di atas pegangan kursi. “Iba katamu?” lanjutnya heran.
Soa bangkit dari sandarannya lalu berdiri penuh percaya diri di depan Kalevi dengan tangan bersilang.
“Aku tidak mengerti dengan nasibmu.
“Kau tampan, kaya, terkenal, bisa mendapatkan apa pun, namun kau gagal dalam hubungan cintamu.”
Pria itu memasang ekspresi jengkelnya lagi.
“Sekarang baru aku sadar,” lanjut Soa. “Setinggi apa pun tempatmu berada, sebesar apa pun peluang yang kau miliki untuk mendapatkan banyak hal, Tuhan punya cara menaklukkanmu. Ia menciptakan satu hal yang menggodamu dan akan menjadikan itu sebagai hal yang sangat-sangat kau inginkan, lalu –
“Hula...! Kau hanya diberikan kesempatan untuk mengejarnya, tapi tidak memilikinya.”
Tanpa Kalevi sadari ia tenggelam dalam kalimat Soa. Pandangannya seketika nanar, pikirannya hanyut teringat soal hubungannya dengan Megha yang berujung tanpa saling memiliki.
“Apa kau sedang mengatakan bahwa, tidak semua hal bisa kudapatkan?” lanjut Kalevi tak lama kemudian.
“Ternyata kau cukup pintar memahami maksudku.”
Kalevi melirik tajam wanita di depannya. “Kurasa kondisi hatimu sedang cukup baik untuk mengingatkanku.”
Seketika senyum wanita itu mengembang, menunjukkan deretan gigi putihnya yang tertata dengan rapi. “Tentu saja. Mungkin karena aku sudah bertemu lagi dengan orang yang kucintai.”
“Oh ya? Kuharap dia tidak menyesal.”
“Ya ampun! Kenapa kau sangat susah melihatku senang.” Soa berjalan santai dan kemudian terduduk di sofa tamu.
“Ini kali pertama aku tahu kau memiliki teman spesial.” Kalevi yang merasa tertarik dengan jawaban Soa lantas bangkit dari kursinya dan menghampiri ikut duduk di depan wanita itu. “Seharusnya dia tahu kalau kau sudah menikah, bukan?”
“Yap, kau benar. Dia bahkan tahu segalanya tentangku dan tentang keluargamu.”
Kalevi mengangkat sebelah alisnya. Ia semakin ingin menyelidik. “Sepertinya dia bukan orang biasa.”