“Ini tidak seburuk yang kau pikirkan, Soa. Ini hanya agar kau tidak bertambah pedih. Jadilah tumbal yang bisa memanfaatkan situasi, bersenang-senanglah. Surga sedang ada di tanganmu sekarang.
“Bahkan jika kau mau berjanji setia karena keinginanmu sendiri, itu lebih baik.”
“Hah?! Lebih baik kau bilang?!”
“Ya. Mereka akan memberi kesempatan hidup lebih panjang bagi orang-orang yang mau berjanji setia tanpa paksaan.
“Jika kau berjanji hanya karena rasa terpaksa, itu akan menambah rasa sakit di hatimu. Terima saja bahwa kau tidak bisa lari, jadi untuk apa dipaksa-paksa lagi. Tidak ada yang salah jika kau menerima takdir ini.
“Hidupmu sesungguhnya tidak terlalu buruk. Kau hanya belum bisa melihat keberuntungannya saja.”
Arandra tak lagi mendengar sahutan Soa yang terlihat sibuk menyelami perkataannya. Ia amati wanita itu, terpaku melamun dengan dahi mengerut selayaknya orang sedang bernalar. Arandra yakin kalau Soa pasti akan memahami betul penjelasannya, dan segala ucapan yang sudah ia berikan akan terbenam ke dalam pikiran dan hati wanita itu sehingga ia mau menuruti sarannya.
“Arandra,” tak lama kemudian Soa memulai percakapan mereka kembali. “Apa dengan kondisimu saat ini – kau masih bisa melihat keberuntungan di dalamnya?”
Tak terpikirkan sama sekali di benak Arandra bahwa Soa akan memberi pertanyaan balik seperti itu kepadanya. Dendam akibat masa lalu meronta kuat di pikiran Arandra tiba-tiba. Hatinya kembali merasakan sakit, kepedihan yang tak ter maafkan menyeruak.
Namun lelaki itu tak ingin larut oleh pilunya. Seketika saja ia tertawa keras membuat wanita di depannya melongo tak paham. Tawanya telah menjadi tudung dari tangis yang ia sembunyikan.
“Tentu saja,” jawab Arandra setelah puas menertawakan dirinya sendiri. “Selama aku di penjara aku merenunginya. Ternyata tidak terlambat untukku menemukan keberuntungan di saat ini.
Dahi Soa mengernyit penasaran. “Apa keberuntungan yang kau temukan?”
“Aku? – hem... rahasia!”
“Astaga!” Soa turut menyusul tawa.
Untuk sesaat Arandra dibuat tertegun. Ia memaku menatapi tawa yang mengingatkannya pada Molek. Membawanya mundur pada kenangan di mana mereka pernah berbincang berdua seraya bersenda gurau bersama.
“Baiklah jika itu masih menjadi rahasia,” ucapan Soa seketika mengacaukan hening kerinduan Arandra. Buru-buru lelaki itu menyadarkan diri bahwa wanita di depannya bukanlah orang yang ia cintai melainkan orang yang paling ia benci. “Aku tidak akan memaksamu sekarang, tetapi aku tetap menunggu jawabannya.”
Bibir hantu tampan itu pun tersungging menunjukkan kehangatan. “Suatu saat aku pasti akan memberitahumu. Sekarang yang terpenting adalah batinmu. Aku tidak ingin kau tertekan.
“Percayalah padaku, Soa. Apa yang kusarankan semuanya hanya untuk kebaikanmu.”