12 hari kemudian.
“Apa hari ini ada perkembangan?” Kalevi yang baru saja pulang langsung bertanya pada Mona.
Mona langsung berdiri dari sofa duduknya. “Masih seperti sebelumnya, Tuan.” Dan jawaban gadis itu lagi-lagi membuat Kalevi kecewa.
Berhubung Mona mendapati Kalevi telah kembali, ia lantas pamit pulang dan membiarkan Kalevi untuk bergantian menjaga Soa seperti hari sebelumnya.
“Terima kasih untuk hari ini, Mona.”
“Sama-sama Tuan Kalevi.”
Setelah kepergian Mona, Kalevi lantas melangkah lemas mendekati Soa. Ia terduduk di sebuah kursi yang tersedia sisi ranjang tidur. Lalu dengan tatapannya yang sendu ia mengamati Soa yang terbaring lemah tak sadarkan diri.
Sudah 12 hari lamanya Soa seperti itu. Sepanjang hari ia hanya tertidur tanpa sekalipun bangun untuk berkomunikasi atau beraktivitas seperti orang pada umumnya. Ia pun jadi bergantung dengan infus yang menusuk di tangannya. Dianggap koma – tidak ada luka pada organnya. Dianggap mati – tetapi masih bernafas. Tak ada masalah pada tubuh wanita itu. Alhasil, sementara ia di diagnosa mengalami Kleine-Levin, alias sindrom putri tidur.
“Sampai kapan kau terus-terusan begini, Soa?” ucap Kalevi pada istrinya.
Disaat bersamaan Kalevi menemani Soa, tiba-tiba saja terdengar suara kamar inap diketuk dari luar. Setelahnya pintu kamar terbuka dan terlihat di sana, Ken datang seorang diri mengenakan tas punggung sambil menenteng tas biola di tangannya.
“Masuklah Ken! Aku senang kau sudah datang,” ucap Kalevi.
Ken lalu berjalan mendekati Kalevi dan Soa. “Bagaimana kabar Soa?” tanya Ken langsung mengarah pada keadaan kakaknya.
Kalevi sebetulnya ingin memberi Ken jawaban yang lebih baik, ketimbang jawaban yang ia dapat dari Mona. Sayang, ia pun tak punya jawaban yang Ken harapkan. “Masih sama, Ken.”
“Jadi Soa belum bisa bangun,” Ken menunduk lesu.
“Tidak apa-apa, Ken. Aku rasa kakakmu masih ingin tidur. Kita biarkan saja dia bermimpi sampai puas.” Kalevi mengiringi jawabannya dengan sebuah senyum.
Ken lantas mengangkat wajahnya. Raut muka polos itu pun bertanya. “Kenapa Soa harus selalu tertidur, Paman? Apa dia lebih bahagia di dalam mimpinya?”
Sesaat Kalevi terenyak oleh pertanyaan Ken.
“Bukankah, Soa sangat senang dengan pekerjaannya, Paman? Lalu kenapa dia tidur terus-terusan seperti orang yang malas?