Malam itu Kalevi yang ditemani Daniel harus mengerahkan tenaga mereka untuk menempuh perjalanan jauh. Mereka keluar dari bagian kota Melvin menempuh jarak 360 KM agar bisa sampai di Desa Yasna.
Kalevi sebelumnya tidak banyak tahu tentang Desa itu. Ia hanya pernah mendengar nama desa itu di saat teman sekolahnya pernah menyebut bahwa ada satu desa di mana penduduknya hidup dengan damai juga sejahtera. Dan di desa itu ada sebuah pohon yang berusia ribuan tahun yang bernama Pohon Cayo. Banyak orang-orang dari berbagai penjuru Denzel mendatangi tempat itu untuk menemukan ketenangan dari hiruk pikuk kota dan memanjatkan doa di bawah pohon Cayo.
Pohon Cayo adalah sebuah pohon besar yang melambangkan kebahagiaan. Ia berdiri kokoh, dengan cabang yang sulit untuk dipatahkan. Siapa pun yang berada di bawah keteduhannya, merasakan perasaan yang nyaman sulit terlukiskan.
Penduduk asli di sana percaya, ketenangan di bawah pohon besar itu adalah sebuah pancaran dari hadirnya para malaikat yang sedang mengepakkan sayap indahnya di atas pohon Cayo. Mereka meyakini, para malaikat senang bersenda gurau di atasnya. Sehingga tawa itu menjadi sebuah energi merambat yang menyusup di hati orang-orang yang berteduh di bawahnya hingga memunculkan rasa tenteram. Uniknya, orang kota yang bukan penduduk asli pun pada akhirnya percaya juga dengan mitos itu setelah merasakan kenyamanan di bawah pohon Cayo.
“Kurasa sebentar lagi kita sampai, Tuan,” Daniel berkata setelah mobil mereka mulai memasuki pintu desa Yasna.
Kalevi terbangun memperbaiki posisi duduknya. Ia mengarahkan pandangannya ke luar kaca. Langit memang tampak masih gelap, dan penerangan jalan cukup terbatas. Akan tetapi sinar bulan purnama begitu terang bercahaya di desa itu.
Keindahan purnama membuatnya masih bisa melihat bukit-bukit di kejauhan dan padang rumput yang ada di kedua sisi jalan. Itu cukup menarik hatinya untuk berhenti dan tinggal cukup lama di sana. Sungguh pemandangan yang bertolak belakang dengan kota Melvin yang penuh dengan gedung-gedung tinggi dan blok-blok tempat makan serta perbelanjaan.
Kalevi merasa senang bisa mampir di sebuah desa yang belum terjamah oleh kekuasaan keluarga besarnya. Batinnya terbersit, kalau saja ia tidak menuruti kata hatinya untuk datang ke tempat itu, tentu ia tidak akan bisa melihat keindahan alam malam di depan matanya kini. Dan kalau saja ia punya banyak waktu, tentu ia akan turun dari mobil lantas berlari-lari seperti bocah di tengah rerumputan, dan tertidur nyenyak di bawah bulan.
Pikiran Kalevi jadi berbalik ke beberapa waktu belakangan. Entah saat itu sudah hari ke berapa, ia terpaku melihat Soa yang masih saja terbaring tak sadarkan diri. Berbeda dari sebelumnya, saat itu perasaannya memuncak gundah tak karuan. Awalnya memang Kalevi membebaskan Soa untuk kapan pun wanita itu ingin keluar dari alam bawah sadarnya. Ia tidak ingin memaksa Soa dan akan tetap setia berada di sampingnya.
Namun dua hari sudah sebuah mimpi aneh mengganggu Kalevi. Saat itu ia bermimpi mengulurkan tangannya kepada Soa, si Gadis Berisik yang sedang terjebak menggantung pada sebuah jurang yang membahayakan nyawanya. Kalevi berteriak agar Soa mau memegang tangannya, ia berjanji akan kuat-kuat memegangi Soa dan mengangkatnya hingga ke atas agar ia tidak terjatuh. Sayang, Soa enggan menerima uluran tangannya dan ia berkata bahwa ia tidak ingin sedikit pun bergerak karena ia merasa takut.
Kalevi betul-betul kebingungan sendiri. Soa berada di dalam bahaya. Jika ia sudah tak kuat lagi bertahan maka ia akan terjatuh ke dasar jurang. Namun kenapa Soa sama sekali tidak menginginkan pertolongan? Ia justru lebih memilih sengsara begitu dari pada meraih tangannya untuk bisa selamat.
Bagi Kalevi mimpi itu sangat mengganggu perasaannya. Ia jadi berkeyakinan bahwa Soa sengaja tak bangun dari tidurnya karena takut dan larut di alam bawah sadar sana. Kalevi tidak ingin Soa sampai bersikap seperti itu. Ia ingin Soa bangkit dan menghadapi masalahnya yang jelas-jelas nyata. Lantas Kalevi pun mulai memikirkan cara untuk bisa membangunkan Soa.