Petaka Grazian

Yulian Juli
Chapter #153

Hati yang Tenang | 153

Setelah beberapa waktu Marshall tiba-tiba menghampiri Kalevi lagi. Kali ini ia datang dengan membawa segelas teh hangat untuk Kalevi. Awalnya Kalevi merasa sungkan diperlakukan begitu, akan tetapi ia pun akhirnya mau menerima kebaikan Marshall. Terbersit di benak Kalevi, bahwa ini kali pertama ia menerima pemberian orang asing yang tidak mengetahui identitas besarnya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa nyaman menerima. Entah itu apa.

Marshall bersikap mengesankan dalam perjumpaan pertama mereka. Ia begitu sopan, hangat, dan sangat membantu Kalevi dalam menjelaskan banyak hal tentang pohon Cayo. Kalevi duga usia lelaki itu barulah di penghujung 25 tahun, dan pasti hidupnya sangat damai karena jauh dari tekanan persaingan hidup di kota.

Pembawaan Marshall yang baik seperti itu membuat Kalevi meminta pada Marshall untuk tidak memanggilnya dengan panggilan Tuan lagi, cukup Kalevi saja. Lagi-lagi terbersit rasa aneh di hati Kalevi setelah Marshall berkenan menyetujuinya, karena ini juga menjadi pertama kalinya Kalevi bisa dengan mudah bersikap akrab pada orang yang baru dikenal.

Segala informasi yang sudah Kalevi dapatkan tentang pohon Cayo dibenarkan oleh Marshall. pemuda itu juga menambahkan alasan mengapa banyak pengunjung berdoa di bawah pohon Cayo.

“Berada di bawah pohon Cayo membawa ketenangan. Perasaan tenang adalah sebuah ruang yang tepat untuk manusia berdoa. Itulah sebabnya kenapa pengunjung sini senang memanfaatkan waktu di bawah pohon Cayo sambil berdoa.”

“Jadi mereka terdorong untuk melakukan itu?

“Ya. Pohon Cayo adalah benda hidup yang mengetuk hatimu dari luar untuk berdoa hanya kepada Tuhan penguasa alam semesta. Aku yakin kau pun juga akan tertarik melakukannya.”

“Aku?!” Kalevi cukup terkejut untuk yang satu itu. Dalam pikirnya terbersit, setelah pertama kalinya ia menerima kebaikan orang asing dan bersikap akrab padanya, lalu... mungkinkah pohon Cayo juga akan menjadi tempat pertama kalinya ia berdoa?

Ah! Untuk yang satu itu rasanya Kalevi pikir tidaklah mungkin. Itu karena selama ini ia tidak pernah diajarkan berdoa kepada sosok yang mereka panggil Tuhan penguasa alam semesta, dan selama ini yang Kalevi pahami adalah manusia berdoa hanya karena ia menginginkan kehidupan yang terjamin, dan soal hidup terjamin, nyatanya ia sudah memilikinya.

Bukan tanpa alasan ia menyimpulkan begitu. Keluarganya – yaa! keluarganya termasuk satu dari sekian banyak orang yang menginginkan surga dunia dari siapa yang di sembah. Mereka kaya dan berkuasa berkat kesetiaan yang mereka berikan kepada Raja Osbert.

Mereka bisa saja berhenti setia dan berhenti melakukan persembahan, tetapi itu hanya akan membuat mereka hidup sengsara dan terhina. Walau sebetulnya secara pribadi Kalevi tidak sungguh-sungguh mempercayai penuh hal itu. Ia masih memiliki keyakinan kalau saja keluarganya membelot, mereka tetap bisa bertahan hidup dengan mengandalkan akal dan pikir yang mereka miliki. Hanya saja untuk menjadi orang berpengaruh besar seperti yang di dapatkan sekarang ini, ia rasa mustahil jika tanpa bantuan sang raja.

Raja Osbert telah hadir di tengah keluarganya. Dia ada dan nyata sebagai pengabul keinginan. Ia adalah sosok yang menjadi Tuhan bagi para pengikutnya. Dan Kalevi secara tidak langsung turut menikmati efek dari penyembahan itu. Hidupnya mudah dan berpengaruh. Jadi karena alasan-alasan itulah sudah sejak sangat lama ia berpikir, untuk apa dia berdoa lagi seperti orang kebanyakan? Pada Dzat yang tak terlihat mata yang mereka panggil Tuhan Penguasa alam semesta. Toh ia sudah mendapatkan segalanya.

“Aku rasa tidak perlu, aku sudah memiliki semua. Aku hanya ingin melihat bagaimana wujud pohon itu.”

Marshall mengernyitkan dahi keheranan. “Kau yakin? Bukankah berdoa adalah suatu kebutuhan?”

“Kebutuhan?” Kalevi sedikit berpikir tentang maksud ucapan Marshall.

Lihat selengkapnya