Nyeri masih terasa di kaki Soa. Ia terlihat berjalan agak pincang dengan perasaan bingung memutuskan ke mana ia akan singgah. Beberapa pejalan kaki yang berpapasan dengannya sempat melirik wanita itu terheran-heran. Wajah kuyu, rambut berantakan, dan piama yang terlihat kotor, membuat beberapa dari mereka iba sekaligus menganggap Soa gelandangan yang bagaimana bisa sampai bebas berkeliaran di taman kota? Sisanya – lebih memilih tak peduli dari mana wanita itu berasal.
Sempat Soa ingin mampir ke restoran pertama yang tidak jauh dari taman, namun akhirnya ia urungkan niatnya itu. Ia merasa ragu, apakah akan baik jika ia ke sana dan meminta pertolongan karyawan untuk menghubungi ayahnya? Ia takut ayahnya tidak dapat berbuat apa-apa dan akhirnya ia harus kembali ke mansion itu bertemu dengan Molly.
Soa tidak menginginkan hal itu terjadi. Ia bertekad akan memasuki rumah megah itu kembali, jika Arandra sudah siap untuk bekerja sama dengannya. Tidak ada kebutuhan Soa datang ke sana selain menghancurkan batu Halvor.
Sementara di luar penglihatan Soa, sang malaikat belum juga meninggalkan dirinya. Ia masih setia mengekori ke mana pun wanita itu melangkah. Sesekali bahkan Andel tenggelam dalam pikiran sendiri, masih tidak menduga kalau mantan pasiennya akan mengambil keputusan yang besar itu.
Ya. Andel masih merasa takjub dengan perubahan hati Soa. Ia yang dulu sempat mementingkan dirinya sendiri kini berbalik bersedia berkorban lebih banyak lagi untuk melakukan misi besar. Tetapi Andel jadi bertanya-tanya cemas. Mungkinkah Soa bisa melakukan misi itu bersama Arandra tanpa pendampingan dari dirinya? Dan mungkinkah Arandra mau bekerja sama dengan Soa, melihat betapa besar halangan yang diberikan oleh kedua temannya?
“Jika Arandra sampai menolak hal itu, lantas bagaimana dengan Soa?” batin Andel. Terus berusaha menggali konsekuensi apa yang bisa saja terjadi. “Aku harus menemui Yang Mulia,” gumamnya setelah beberapa saat tak menemukan kepuasan dari logikanya.
Baru saja Andel ingin melesat meninggalkan bumi. Ia lihat Soa terduduk di depan sebuah toko yang tutup. Soa tampak melepas lelah di sana, sambil memijat-mijat pergelangan kakinya yang terkilir. Sungguh itu membuat Andel lagi-lagi merasa tak tega. Ingin rasanya ia menyembuhkan rasa sakit itu, akan tetapi lagi-lagi juga ia sadar kalau kekuatannya tidak boleh ikut campur pada hukum aksi-reaksi semesta begitu saja.
Hingga kemudian terbersit sebuah ide di benak Andel. Ia lantas menjauh dari Soa, bersembunyi di sebuah tempat terpencil yang tidak mendapat perhatian orang-orang. Dengan keajaiban ia lalu mengubah dirinya kembali menjadi Mona. Dan dengan gerak cepat, setelah ia berwujud sebagai Mona, ia merogoh tas bahunya mencoba menghubungi Kalevi kembali dengan cara manusia.
‘TUUUUTTT – TUUUUUTT’ begitu leganya Andel yang kini sebagai Mona mendengar nada panggilan ponselnya tersambung kepada Kalevi.
“Ya, Mona! Di mana kalian?!” terdengar jelas di telinga Mona suara cemas Kalevi.
Ternyata Kalevi sempat tidak sadar kalau ponselnya kehabisan baterai. Setelah ia mengisi daya ponselnya, giliran ia yang mencoba menghubungi Mona namun saat itu ponsel Mona juga gagal dihubungi.
“Sepertinya ada gangguan sinyal, Tuan.” Begitulah Mona memberi alasan kenapa ia tidak bisa dihubungi. Padahal ia jauh lebih paham, pastilah Kalevi menelepon di saat ia telah berubah ke wujud asli. Sebagai Andel ia telah mengacaukan sinyal yang masuk ke ponselnya sendiri agar siapa pun tidak dapat menghubungi, dan jika mereka bertanya setelah berhasil tersambung dengannya maka ia punya alasan yang tepat tanpa perlu disalahkan.
Mona kemudian menjelaskan kepada Kalevi bahwa Soa sudah sadar dan ialah yang sudah membantu wanita itu mengelabui para bodyguard itu di rumah sakit. Tentunya dengan sedikit keajaiban yang lagi-lagi tidak bisa Mona jelaskan kepada Kalevi.