“Apa, apa yang terjadi padaku di masa lalu? Aku harus ingat, aku harus ingat!”
Kepanikan terasa semakin menerjang Soa. Ia masih meraba ingatannya agar dapat menemukan jawaban yang ia cari.
“Aku mohon Tuhan, biarkan aku mengingat segalanya,” pinta Soa dalam doa. Terus saja ia bergulat dengan pikirannya sendiri. Mencari-cari kenangan dari arsip jiwa yang ia miliki.
“Aku harus bisa mengingatnya. Ya, aku harus pelan-pelan menyusuri kenanganku.
“Aku – aku lahir – aku... kehilangan Ibu. Aku... selalu seenaknya menjalani sekolah. Aku tak melihat Amo lagi. Aku...”
Cukup lama Soa menjelajahi pikirannya, namun selalu saja hasilnya terhenti sampai pada saat ia dan ayahnya bertengkar karena perbedaan keinginan mereka. Teka-teki tak terpecah di sana. Soa pun mulai lelah dan menjatuhkan air matanya lagi. Besar usahanya untuk bisa menjejaki seluruh masa lalu masih saja gagal dan malah memerangkapnya ke dalam kesedihan.
Soa frustrasi. Terbersit di hatinya bahwa ia tidak akan pernah mendapat alasan untuk sedikit berbelas kasih pada dirinya sendiri. Ia jadi meyakini kini, kalau dahulu dirinya lemah tak dapat melawan nasib sehingga ia harus menjadi pria keji yang ahli merampas kehidupan orang lain.
“Aku memang pantas dibenci. Hiks!
“Tidak ada dari diriku yang pantas di kasihi.
“Untuk apa lagi aku mencari-cari masa lalu? Semua sudah jelas.
“Sekarang aku harus mempertanggungjawabkan perbuatanku tanpa belas kasih, bahkan bila perlu aku yang menjadi hakim untuk diriku sendiri.
“Tuhan, beri saja aku jeruji jika itu memang bisa membayar semua luka yang sudah kubuat.
“Aku menyerah.
“Aku menyerah, Tuhan. Hiks!”
Bak lampu menyala di tengah matinya. Tepat di hadapan Soa kegelapan sirna berganti menjadi sebuah hamparan rumput hijau berpayung langit mendung yang pekat.
Padang hijau itu membuat Soa kebingungan sendiri. Tak mengerti mengapa ia bisa berada di tengah suasana seperti itu. Ia buru-buru bangkit berdiri. Matanya lalu fokus mengedar.
Tak ada seorang pun yang ia lihat berada di sana. Sampai kemudian ia dibuat terkejut karena dari kejauhan matanya menangkap sebuah pohon raksasa hingga membuat mulutnya terkejut menganga.
“Pohon itu...?”
Menggelitik perasaan aneh di dalam diri Soa. Ia merasa pernah ke tempat asing itu sebelumnya, namun ia sama sekali tak tahu kapan dan apa nama wilayahnya? Ketidaktahuan itu pun akhirnya berujung pada kaburnya keyakinan Soa bahwa ia pernah berpijak di sana.
Soa tak henti mengamati ketinggian dan kebesaran pohon besar itu. Anehnya pohon itu seakan menghipnotis menariknya untuk mendekat. Sesaat Soa lebih memilih menahan diri, tetapi sekelebat kenangan ketika sedang berdiri menatapi pohon itu lewat, menjadi sebuah panggilan tak bersuara diterima hatinya.