“Keeennnn.”
Soa begitu bahagia setelah membuka pintu kamarnya. Kalevi tidak berdiri sendiri di sana, ia hadir sambil menggandeng Ken. Kerinduan wanita itu pada adik bungsu akhirnya terbayar, Kalevi berhasil menepati janji untuk membawa Ken ke hotel dan semalaman menginap bersama mereka.
“Soa ..."
Ken tak kalah senang mendapati kakaknya ada di depan mata. Baru saja Soa membuka pintu, ia sudah berlari kegirangan memeluk Soa. Semenjak hari pertama Soa ke luar dari rumah sakit, Ken memang belum pernah bertemu dengan kakaknya, baru kali ini ia bisa menyapa sekaligus memeluk saudara perempuannya itu dengan hangat.
“Aku senang melihatmu kembali sehat, Soa!” begitu polos Ken mengungkapkan rasa gembiranya.
Soa pun menggiring Ken duduk di Sofa. Tak lupa ia menghidangkan kue tar yang sempat di pesannya kepada pihak hotel dan juga tiga gelas es jeruk. Setelahnya, ia dan Ken langsung larut duduk dan berbincang bersama tanpa ada Kalevi ikut serta.
Tidak sulit untuk Soa menemukan perbincangan seru antara dirinya dengan Ken. Terlebih Ken memang tipe anak yang suka bercerita. Apa saja bisa menjadi bahan obrolan, dari mulai pengalaman belajar Ken di sekolah, les biola, sampai pembicaraan Ken tentang teman perempuannya yang sedang ia suka.
“Kau ini masih kecil. Tidak seharusnya kau ingin dia jadi pacarmu,” protes Soa saat mendapati ketertarikan Ken pada seseorang.
“Aku tahu itu, aku tidak bilang ingin dia jadi pacarku. Aku hanya mengaguminya saja,” dan begitulah bocah itu membalas.
Soa sengaja lebih banyak mengajak Ken untuk membicarakan seputar kehidupannya. Karena bagi Soa hal itu akan menjadi pembahasan yang ringan sekaligus asyik melepas kerinduan. Ingin rasanya ia bertanya pada Ken tentang kabar ayah dan ibu mereka, hanya saja Soa merasa ragu. Ia takut dalam jawaban Ken ada kesedihan yang bisa mengganggu suasana hati adiknya.
Di lain sisi Kalevi justru terlihat agak berbeda. Ia memilih menyendiri di sudut balkon dibanding turut serta dalam perbincangan istri dan adik ipar kecilnya. Soa sebetulnya bisa merasakan perbedaan sikap Kalevi, namun ia tidak ingin Ken ikut menyadari. Ia ingin waktunya yang singkat bertemu Ken betul-betul terpakai. Nanti setelah waktu senggangnya bersama Ken usai, ia baru berniat mengajak Kalevi berbicara empat mata.
Awalnya cukup lama Soa dan Ken larut dalam obrolan. Obrolan tidak ada habisnya di antara mereka. Sampai akhirnya Ken sadar sendiri, bahwa Kalevi tidak juga kembali untuk bergabung bersama.
“Soa, apa perasaan Paman sedang tidak baik?” dengan lugu Ken bertanya, setelah melihat lewat dinding kaca Kalevi melamun sendirian di luar.
Soa pun turut melihat ke arah Kalevi. “Sepertinya begitu,” jawab Soa memilih tetap santai. Walau ia tahu apa sebetulnya yang menjadi sebab. “Sudahlah, kita biarkan saja dia. Sampai di mana obrolan kita tadi?”
“Hem... tidak, Soa,” balas Ken seraya menggelengkan kepalanya. “Itu berarti kita harus menghiburnya.”
Soa memandang Ken terheran-heran. “Kau peduli sekali padanya, Ken. Apa di luar pengetahuanku kalian cukup dekat?”
“Tidak.” Jawab Ken semakin membuat Soa bingung. “Hanya saja... Paman Kalevi pernah sangat peduli padaku disaat aku merasa sendiri.”
“Oh ya...???” nada bertanya Soa terdengar panjang dan meragu. “Apa yang pernah dia lakukan untukmu?”
Ken langsung memasang wajah sedang mengingat-ingat. “Saat Bibi Molly mengunciku di dalam kamar –”
“Apa! Dia pernah menguncimu di dalam kamar. Ugh! Dasar nenek sihir!!!” Soa langsung menyela kesal.
“Ya, Soa. Saat itu aku ingin pulang tetapi Bibi tidak mengizinkanku pergi. Bibi berkata kalau kau tidak akan pernah datang menjemputku.”
Soa langsung terdiam muram turut mengingat masa sulit itu.