“Tidak usah khawatir, Soa. Setelah kau mengatakan kau akan pulang, aku langsung memerintahkan bawahanku untuk membersihkan namamu. Dan sekarang, pandangan masyarakat mengenaimu sudah mulai kembali positif.”
Dahi Soa mengerut mendengar hal itu. Begitu mudah Molly membalikkan keadaan.
“Lalu bagaimana dengan nasib penulis yang menuduhku?”
“Dia sudah mendapatkan bagiannya, dan aku harus menambahkan bonus agar dia bisa menerima hujatan dengan baik."
Soa merasa tak habis pikir dengan itu semua. “Sewaktu aku menerima kebencian orang-orang, rasanya aku ingin menghilang dari dunia ini. Kata-kata mereka begitu menyakitkan, memperlakukanku seperti pendosa yang tidak terampuni. Lantas bagaimana dia mampu menerima hujatan itu dengan baik?”
“Tentu saja, apa yang menjadi pilihan dia pada akhirnya bukan urusanku. Dia mau tetap hidup menelan kebencian atau mati mengenaskan, yang penting aku sudah melakukan bagianku. Jadi untuk apa aku memikirkannya.”
Diam-diam Soa mengepalkan tangannya dari balik meja. Ia berusaha menahan kegeramannya mendengar ungkapan Molly tentang mental orang lain dengan begitu santai.
“Semudah itu?” sekuat tenaga Soa mencoba bersikap biasa.
“Ya, semudah itu keluarga kita mengatasi masalah.”
“Jadi... penggemar novelku kembali?”
“Tentu, Sayang. Kau bisa menikmati lagi popularitasmu. Kembali ke keluarga ini akan dipenuhi oleh hari-hari yang menyenangkan.”
Soa menundukkan kepalanya. Menyembunyikan raut muka kesal buah amarah. Daiva, Molly, Kalevi, di antara ketiganya hanya Kalevi yang memahami bagaimana Soa menahan emosinya. Sementara Molly dan sang suami, lebih terlihat bingung melihat sikap aneh wanita itu.
“Apa kau keberatan?” Molly mulai mencurigai sikap Soa.
Sejenak Soa terdiam, lalu menarik nafasnya dalam-dalam sebelum ia kembali mengangkat wajahnya.