Hari kembali berganti. Di siang yang terik itu, Mirron terlihat menampakkan diri dengan wajah cemas setelah ia kesulitan mencari-cari.
“Ternyata kau di sini! Aku sudah mencarimu ke mana-mana. Untunglah aku ingat dengan hari dan tempat ini.” Baru saja muncul Mirron sudah langsung mencerocos di balik tubuh Andel.
“Kau selalu saja mencariku, apa aku terlalu menarik bagimu?” dengan nada datar Andel menggoda, namun matanya tetap saja tertuju pada pusara yang ada di depannya.
“Astaga, kau sudah semakin mirip Soa sekarang.”
Andel pun mendengus tersenyum kecil.
Mirron terdiam sejenak, serius mengamati dari balik punggung sahabatnya. “Sungguh pemandangan yang tidak asing,” begitu ia pikir.
Situasi yang Mirron dapati memang bukan hal baru untuknya. Hampir di setiap tahun ia melihat Andel berdiri terjaga dalam diam di depan sebuah makam seseorang. Tak lupa sahabatnya membawakan seikat warna-warni bunga Hyacinth. Setelahnya, ia akan melihat Andel menghabiskan banyak waktu di sana. Hanya terdiam memandangi saja, tak berbuat apa-apa. Entah apa yang Andel pikirkan, hal itu selalu membuat Mirron penasaran.
Pusara tak bernama itu Mirron tahu sudah begitu tua. Perubahan gerak alam hampir saja menimbunnya dan membuatnya lenyap di telan bumi. Namun Andel sahabatnya, dengan sedikit keajaiban menjaga makam itu agar tetap utuh. Kini pusara itu masih ada di sana, berdiri sendiri, tak dikenali, dan menjadi sebuah tempat yang setiap tahunnya Andel kunjungi.
“Hei Andel, kau ingat bahwa kau masih berhutang padaku?” tiba-tiba Mirron teringat pada percakapan yang pernah terjadi di antara mereka.
Andel mulai berkutik, namun tetap membisu dalam pencarian lewat pikirannya.
“Huh! Kau ini. Padahal sudah ratusan tahun kau membuatku penasaran.” Mirron mulai jengkel, sudah paham kalau teman sesama malaikatnya itu pastilah lupa. Percuma jika menunggunya ingat sendiri. “Kau ingat, dulu aku pernah bertanya padamu siapa sesungguhnya pemilik makam tanpa nama ini? Kenapa kau selalu mendatanginya di setiap tanggal kematiannya? Dulu kau bilang bahwa kau akan menjawab pertanyaanku jika melihatnya hidup kembali. Lalu bagaimana sekarang? Apakah ini saat yang tepat?”
“Oh, itu. Kupikir kau sudah melupakan pertanyaanmu.”
“Astaga! Mana mungkin aku lupa. Aku bukan orang yang mudah menyerah dengan rasa penasaranku.”
Andel terdiam mendengar pengakuan Mirron. Matanya masih tak luput menyoroti batu nisan di depannya.
“Apa dia... pahlawan di negara ini? Kebaikan apa yang sudah ia perbuat hingga menarik perhatianmu padanya?” Mirron semakin tak sabar. Ia yakin hari itu rasa penasarannya akan lenyap, dan terkaan yang ia berikan barusan adalah jawaban yang paling masuk akal dari pertanyaannya.
“Bukan, Mirron,” ucap Andel langsung menimbulkan keheranan. “Justru dialah pemeran antagonis dalam kisah hidupnya. Dia menyerah pada kebaikan dan memilih kejahatan.”