Petaka Grazian

Yulian Juli
Chapter #179

Memberi Nama | 179

“Setelah hari buruk itu. Dia menjadi gelandangan di desa ini. Dia menjalani hari-harinya dengan frustrasi, dan rasa putus asa. Pakaian mahal yang dikenakannya telah tiada, yang tersisa hanyalah baju compang-camping dan kumal. Tidur beratap langit, dan rerumputan menjadi ranjangnya. Mencari apa yang bisa dimakan di jalanan menjadi hal biasa. Dijauhi orang-orang pun harus dia telan. Kemewahan dan kedudukan tinggi tidak lagi menjadi jubah pria itu.”

“Ya Tuhan, akhir hidupnya sungguh mengenaskan.”

Mendengar rasa iba Mirron sebuah senyum kecil pun terlukis di bibir Andel beberapa detik kemudian. “Tidak, Mirron. Situasi itu ternyata belum menjadi akhir. Seiring dengan berjalannya waktu. Aku melihat sorot mata itu berubah.”

Mirron menoleh pada Andel cepat-cepat.

“Catatan-catatannya menjadi saksi, bahwa dia telah merelakan apa yang pernah dia miliki. Aku melihatnya menulis pengakuan diri saat itu. Dia... menemukan kebahagiaan, Mirron. Dia menemukan hal itu di dalam keterpurukkannya. Menemukan apa yang selama ini dia cari, bahwa kebahagiaan itu ada di dalam hatinya.”

Mirron tersenyum mendengarnya. Ia tak menyangka hal itu akan terjadi.

“Dalam keterbatasannya pria itu lebih banyak menulis mengungkapkan apa yang ia lihat dan rasakan. Ia bahkan tak segan tersenyum dan tertawa saat goresan pena menari di atas kertas yang ia punya. Setelahnya, dia akan membuang kertas itu di tempat sampah.

“Suatu ketika bocah-bocah penduduk desa mulai penasaran dengan tulisan si orang gila bahagia.”

“Orang gila bahagia?” Mirron tertawa kecil.

“Begitulah penduduk desa memanggilnya. Anak-anak itu lalu memungut kertas-kertas yang sudah dibuang dan... mereka menyukainya. Mereka tak segan membawa tulisan itu ke balai desa. Di sanalah penduduk desa yang terdiri dari orang-orang dewasa juga ikut menikmati tulisannya.

“Lama kelamaan pria itu mulai kembali dianggap ada. Coretan lelucon dan menyentil perasaan selalu saja membuat pembacanya tertawa, berpikir, dan tersentuh. Sejak saat itulah pertemanan mereka dimulai.”

“Mereka? Pria itu dan penduduk desa?”

“Ya. Tuhan mengizinkan mereka saling mengenal, dan kehidupan baru kembali dimulai untuknya. Penduduk desa tak segan mengizinkan pria itu tidur di balai desa jika dia mau. Memberinya makanan dan pakaian yang layak. Pria itu sudah tidak lagi dianggap gila.”

“Pria itu menerimanya?”

“Tidak dengan cuma-cuma. Dia memilih untuk menggarap lahan milik desa agar hasilnya bisa dinikmati bersama. Tak lupa dia tetap menulis untuk menghibur mereka.”

Lihat selengkapnya