Petaka Grazian

Yulian Juli
Chapter #184

Simbol | 184

Soa memasuki ruangan itu. Pertama yang lihat adalah sebuah lantai berwarna semen dengan garis-garis putih tajam yang luas. Garis itu menggambarkan bentuk bintang dengan enam sudut. Lalu di tengah garis bintang itu terdapat gambar seekor burung, lekat-lekat Soa mengamati.

“Bukankah ini... Elang Harpy?” begitu Soa bergumam sendiri. Lantas menanggalkan kebingungannya apa maksud dari lambang itu.

Soa terus memperhatikan apa yang dipijaknya. Lilin-lilin bekas masih tergeletak, ia yakin lilin-lilin itu sudah di pakai untuk ritual pemujaan. Dengan keras Soa pun menendang lilin-lilin itu hingga terpental jauh. Matanya lalu mencari-cari dan benar saja, sebuah jam besar di dinding yang Arandra sebutkan ia temukan di sana. Soa ingat pesan Arandra, ia harus memperhatikan betul-betul detik yang berjalan sebelum batu itu ia pecahkan.

Kali ini Soa berjalan mendekati peti kaca yang menyelimuti batu Halvor. Matanya berbinar bak kucing yang mengincar ikan. “Aku betul-betul akan menghancurkanmu, Halvor!” ia melayangkan stik golfnya.

‘PPRAANG PPRAANG PPRAANG’

Tanpa ragu bertubi-tubi wanita itu memukul peti kaca Halvor hingga bentuknya tidaklah lagi sempurna. “BERSIAPLAH OSBERT!!! SETELAH INI AKAN AKU LULUH LANTAH KAN KERAJAANMU!!!” terus saja Soa memukul seraya memberi perkataan keras. Peti kaca itu memang sedikit lebih tebal. Satu kali pukulan tak cukup untuk membuatnya retak apa lagi sampai pecah. Besar tenaga harus Soa kerahkan agar ia dapat meraih batu itu, apa lagi alat pemukul yang ia gunakan hanyalah sebuah stik golf.

Setelah beberapa lama, dengan nafas yang terengah-engah sementara raut muka terlihat puas dengan hasil yang didapat. Soa lempar stik golf di tangan, lalu dengan cepat ia mengambil batu itu dan mengeluarkannya.

‘Srett’ – “Akh!” sayang Soa sempat kehilangan konsentrasi sehingga pecahan kaca menyayat punggung tangan kanannya. Akan tetapi ia tidak memedulikan rasa perih dan darah itu. Ia genggam Halvor kuat-kuat lalu menariknya keluar dari singgasananya yang terkutuk.

Soa mengamati Halvor lekat-lekat. Ia merasa seakan dirinya sedang reuni dengan batu itu. Batu yang keindahannya tidak pernah berubah walau telah berusia ribuan tahun. Halvor tidak terlalu besar, ukurannya sangat pas dengan cengkeraman tangan orang dewasa. Warna hijau yang Halvor miliki pun begitu jernih berkilau, tak bercacat sama sekali.

“Kali ini aku datang untuk membuangmu ke neraka, Halvor!” Soa melirik ke arah jam Grazian, begitu Arandra menyebutnya. Perbedaan dengan waktu dunia nyata hanyalah berkisar sepuluh menit lebih cepat. Entah apa maksud perbedaan itu, dan tiga menit lagi ia harus membanting Halvor sekeras-kerasnya agar batu itu hancur berkeping-keping.

Soa memejamkan mata sejenak, berharap Arandra bisa mendengar suara batinnya. “Biarkan aku tetap mempercayaimu, Arandra. Ayo, kita hancurkan batu ini bersama-sama.”

Keheningan Soa dalam menunggu waktu seketika terganggu. Samar-samar ia mendengar suara langkah sepatu pantofel. Wanita itu membuka matanya, memandang lurus ke arah pintu dengan jantung yang seketika berdetak cepat.

Lihat selengkapnya